Aku di sini melihat ayam, di hadapan mataku yang buram. Aku di sini mendengar lenguhan kerbau dan sapi tiap hari, dan embikan kambing, di sela-sela guyonan angin. Hamparan sawah seperti cakrawala telentang, berlumuran warna hijau, asri. Di pematangnyalah, aku mencumbui tubuhnya dengan sandal yang kubawa dari kota: yang kasar, congkak, liar, binal, dan artifisial.
Di sini telingaku dapat lebih peka, menangkap gerisik
daun yang berciuman, memergoki gemercik air yang bersahutan. Ah! Dan lembayung
di kala senja pun dengan gampangnya dapat kupanah dengan mata. Matahari
menawarkan tubuhnya ‘tuk dipandang saat menggelinding di perut ufuk, hendak
masuk selimut—sebab tiada bertingkat-tingkat gedung, tiada balok raksasa yang
mengepung.
Dan aku melihat merpati membawa diksi, membawa kanvas
putih, hendak menggurat warna-warni, dan mengajarkan bagaimana bercakap-cakap
dengan diri sendiri. Agar basah kuyup. Dan guyublah tubuhku. Menabur tutur
kata, mengguyur tegur sapa, melepas kacak pinggang, dan memenggal leher yang mendongak.
*22-7-2018
0 Komentar