Ad Code

Responsive Advertisement

Budaya kemalasan dan peradaban waktu senggang

Apa yang dilakukan manusia di waktu senggangnya? Untuk menangkap makna waktu luang, aku akan menyajikan ilustrasi secara sederhana.

Suatu sore, seorang, ketika pulang kerja, berbelok ke kiri untuk mampir di sebuah taman di tengah kotanya. Di sana dia sedang menikmati es teh sambil menghisap rokoknya. Pekerjaannya sepanjang hari melemparkannya ke hari yang melelahkan tanpa akhir. Ia sekarang menekuk diri untuk masuk ke dalam pikirannya yang padat, berusaha meringankan rasa sakit dan penderitaannya, berusaha membayangkan kondisi yang baik di mana dia tidak akan dikejar oleh serangkaian tugas yang membuatnya rapuh dan jenuh.

Apa yang ada di pikirannya adalah dia ingin pergi ke luar kota suatu hari nanti, melakukan sesuatu yang baru, pekerjaan yang menyenangkan. Dia tidak pernah memikirkan hal demikian sebelumnya. Saat itu, di taman sederhana, dia memikirkannya. Dia menemukan cara untuk membawa dirinya mengembara ke dimensi lain yang tidak mungkin dilakukan jika dia tidak punya waktu senggnag untuk belok kiri minum es teh dan membayangkan gambaran futuristiknya.

Apa yang pria itu lakukan di taman adalah aktivitas eksistensialnya di waktu senggangnya. Dia membawa seluruh dirinya sepenuhnya untuk berpartisipasi dalam memutuskan apa yang akan terjadi. Tentu saja, dari luar kita menilai dia sebagai seorang pengkhayal, seorang pemimpi yang hanya suka melamun karena lusa dia akan melakukan hal yang sama yang telah dia lakukan berulang kali.

Itu bukan poinku sama sekali. Yang kumaksud adalah, waktu luang adalah waktu diri untuk mengukur kemungkinan waktu yang akan datang. Pria itu justru merayakan waktu luangnya dengan cara yang benar. Dia mampu menarik diri dari hiruk pikuk dunianya untuk menyulam kemungkinan realitas lainnya. Jika dia tidak memiliki waktu luang di taman, dia tidak akan menyelami konstelasi hidup yang lain.

Sering kali waktu luang digunakan kebanyakan orang untuk merayakan kemalasan. Orang-orang yang demikian tidak memahami bahwa waktu luang adalah harta mereka. Semakin sering mereka memiliki waktu luang, semakin banyak harta yang mereka miliki. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia di dunia dibuat sibuk melakukan segala sesuatunya tanpa kecuali sehingga tidak memiliki waktu luang yang sebenarnya.

Kita menganggap waktu senggang sebagai tempat untuk kemalasan dirayakan dengan cara yang kelliru, seperti nyekrol, ngumpan, nyelbrong, dan nyetori. Seyogianya waktu senggang tidak membawa kita pada kasur kemalasan dalam aktivitas yang sia-sia, tetapi malah memicu kita untuk memfungsikannya secara maksimal.

Di waktu luang kita, kita membangun peradaban, setidaknya untuk peradaban setiap diri sendiri. Dalam arti yang tepat ini, kita memuji kemalasan. Seorang pendeta atau ulama tidak dapat membaca banyak buku untuk mempelajari teologi jika dia tidak memiliki waktu senggang. Semua seniman, ilmuwan, dan jenius melakukan hal yang sama. Mereka benar-benar membutuhkan waktu senggang sebagai harta mereka untuk menggerakkan peradaban. Oleh karena itu, kita dapat menilai bahwa “kemalasan” mereka adalah pilar peradaban kita.

Setelah lelaki itu menghabiskan waktu senggangnya membayangkan waktu yang akan datang dengan minum es teh dan merokok, dia mengendarai mobilnya menuju rumahnya. Meskipun keesokan harinya masih akan bekerja di perusahaan yang sama tempat dia bekerja sebelumnya, bagaimanapun dia akan menapaki langkahnya dengan memikul peradaban barunya sendiri.[]

Posting Komentar

0 Komentar