Dalam sebuah acara yang diselenggarakan seorang sufi, hadirlah seorang pemuda yang semenjak lama memendam dendam pada si sufi tanpa alasan yang gamblang.
Kala melangsungkan makan bersama, pemuda tersebut
mengepruk kepala si sufi dengan gelas yang tersedia. Suasana menjelma mencekam.
Bukannya membuat si sufi spontan membalas atau minimal mengomeli perlakuan si
pemuda, tetapi si sufi malah tersenyum ria.
Si pemuda menjadi celingukan. Ditambah lagi si sufi
berterimakasih girang, “Sebab, sebelumnya kepalaku sedang pening, keprukan yang
kaulakukan menghilangkan peningnya.” Si pemuda menjadi gelabakan dan
terselonjorkanlah dendamnya dalam simpuhan penyesalan.
Kita tentu tahu bahwa kepala si sufi sebenarnya tidak
benar-benar sedang pening. Ia membuat alasan tersebut untuk mendekap dendam
yang terpendam di dada si pemuda dengan tangan pemaafan tak berbatas dan
mengungkai suasana permusuhan dengan cara menjahit tali persahabatan.
Bila disarikan: “Api kebencian yang disemburkan oleh
naga raksasa tetap akan terlumat-lumat hingga lenyap di hadapan gelombang air
dari samudera kasih-sayang. Sebab, di hadapan air, api akan padam, dan di
hadapan cahaya, kelam menjadi benderang.”
^Ditulis pada 9/6/2018
0 Komentar