Dunia akademik mengajarkan premis pikiran yang koherensif dan korespondensif, tetapi kita malah sering mengalami ketersandungan berpremis dari sana, dari kumpulan masyarakat ilmiah. Salah satu pokoknya adalah tentang “kebenaran”.
Lingkungan akademik mengajarkan pada kita bahwa
bukti-bukti dapat mengantarkan pada kebenaran. Dengan kata lain, untuk
memandang kebenaran, kita harus menggali bukti; untuk menunjukkan bahwa “ini”
benar, kita harus menyodorkan bukti (bahkan dengan sadar, bukti tidak sekadar
disodo[r]kan, tapi disodo[k]kan)—seolah-olah kebenaran dapat ditemukan melalui
bukti (derivasinya: kebenaran dapat ‘direkayasa’ melalui bukti).
Kita tak dapat mengelak bahwa “bukti” dapat
dimanipulasi, dapat dipolitisasi (diparpolkan), dapat dijual-belikan, dan
seterusnya. Jadi, kalau kita rumuskan secara sederhana: “Bukti (sebagai sebab)
akan menunjukkan pada kebenaran (sebagai akibat).” Premis tersebut tentu lucu,
dapat membuat kita tertawa intelektual. Bagaimana bisa kita menstratifikasikan “kebenaran”
di bawah [kendali] “bukti”? Apa yang membuat lingkungan akademik “berpikir
terbalik”?
Mungkin kalau disederhanakan begini: Bukti hanyalah
[kumpulan] proposisi yang siap ditolak atau diafirmasi. Berarti bukti bukan
akan mengantarkan pada kebenaran, melainkan hanya hendak membuktikan ...
Apa yang dibuktikan? ... Tentu adalah segala hal yang belum tentu benar,
atau bisa jadi salah. Nah, bagaimana mungkin kebenaran [perlu] dibuktikan?
Kebenaran selalu benar dengan sendirinya, tanpa perlu formula diktat dan
traktat ilmiah. Aku harus mengantisipasi pertanyaan besar yang implisit di
tulisan ini dengan penutup: “Kebenaran selalu menampakkan dirinya untuk
dipandang.”
^Ditulis pada 9/2/2018
0 Komentar