Ad Code

Responsive Advertisement

Etika Kebahagiaan menurut Para Filosof Muslim: Sebuah Refleksi Singkat

Dalam disiplin filsafat, etika disinonimkan sebagai filsafat moral, yang membedakannya dengan ajaran moral.[1] Etika (filsafat moral) adalah kajian yang fokus pada sisi teoritis (ajaran) moral, sedangkan moral merupakan (ajaran atau perintah) baik-buruk dalam kehidupan individual-sosial yang harus dilaksanakan.

*Ditulis pada 29/10/2018, 05:00 WIB

Dalam artikel ini, saya hendak merefleksikan pembacaan terhadap etika menurut filosof muslim sebagai basis kebahagiaan. Menjelaskan demarkasi tegas antara etika (filsafat moral) dan moral (sebagai ajaran) dalam hal ini merupakan hal yang muspra, dikarenakan para filosof muslim dalam membahas hal demikian dengan saling sinergis-padu, inheren, dan kohesif-korelatif.

Filosof muslim sebagai penggendong filsafat Islam---menurut Ibrahim Madkour---tampak dapat dibedakan dengan filsafat lainnya, karena uraian rentang filsafat Islam tidak lepas dari intervensi tasawuf (dalam sisi praktis maupun teoritis). Hal ini tampak dari apa yang dikemukakan oleh filosof muslim semisal al-Kindi, al-Farabi, Ikhwan al-Shafa, Ibn Miskawaih, al-Ghazali, dan lainnya.[2]

Salah satu garapan filosof muslim dalam bidang etika adalah “kebahagiaan”. Para filosof muslim tidak sekadar menganjurkan implementasi moral secara membabi buta, melainkan mereka memberikan sisi rasionalitas dalam praktik moral demi mencapai kebahagiaan, lebih-lebih term “kebahagiaan” diarahkan pada kebahagiaan ruhani, bukan kebagiaan materialistik.

Para filosof muslim, di satu sisi, memaparkan bagaimana cara menggapai kebahagiaan dan mendeskripsikan tentang ajaran-ajaran moral yang harus dipatuhi. Di sisi lain, para filosof muslim menguraikan argumentasi rasional dan menyajikan skema mengenai hierarki kebahagiaan—terutama keberkaitannya dengan aktualitas akal[3]—yang dapat menanjak hingga puncak kebahagiaan.

Kebahagian dalam KBBI adalah perasaan senang dan tenteram, bebas dari segala kesusahan.[4] Interpretasi saya: perasaan senang dan tenteram dalam dunia sufi bukanlah mengenai keadaan di dunia (material) apalagi mengenai barisan bidadari dan cambuk api di akhirat, melainkan jiwa yang tenteram merupakan sorga yang nyata saat di dunia, dan kesusahan adalah penyiksaan neraka pada jiwa saat di dunia.

CPA Media Pte Ltd / Alamy

Konsep yang dikemukakan oleh filosof muslim berkaitan tentang kebahagiaan kesusilaan—yang bisa diterapkan oleh khalayak umum. Yang kedua mengenai kebahagiaan dalam kesempurnaan akaliah—yang hanya bisa dilakukan oleh orang tertentu untuk mendayagunakan akalnya.[5]

Etika dalam filsafat Islam juga dianggap “pengobatan ruhani”. Metode yang dilakukan senada dengan kedokteran umum (pengobatan jasmani), sedangkan etika untuk kedokteran ruhani—seperti yang dilansir Mulyadhi Kartanegara, bahwa etika juga menggunakan metode kedokteran (ruhani) yang kuratif dan preventif.

Fokus tulisan ini sebenarnya pada keterkaitan penyempurnaan akal dalam capaian kebahagiaan. Oleh karena itu, Ibn Miskwaih menganjurkan untuk mengolah pikiran sebagai kesehatan mental, karena ihwal itu sama dengan berolahraga bagi kebugaran badan. Maka dari itu, mengolah pikiran seperti membaca, kontemplasi, menulis reflektif, dan merenung[6] merupakan urgen bagi kebugaran ruhani (mental atau psikologis).

Bagi para filosof muslim, kebahagiaan dalam peyempurnaan akal (ilahi) lebih signifikan dari aspek implementasi moral—namun hal ini tidak dapat dikesampingkan. Filosof muslim lainnya, al-Farabi, menganalogikan struktur manusia layaknya negara yang harus memiliki raja (presiden) dan berbagai kabinetnya. Dalam hal ini, al-Farabi menempatkan akal-intelektual (spiritual) sebagai presiden untuk memimpin kendali negara (tubuh).

Oleh karena itu, tugas presiden (akal) bukan soal politik melulu (materialisme bendera: untung-rugi), melainkan menjunjung spirit profetik (kenabian), yang mengomando warganya (jasad dan jiwa) untuk menuju kebaikan akhlak, keutaman pandangan, cakrawala pemikiran; baik melalui observasi, cinta pengetahuan, belajar, merenung (kogitasi), dan intelektif-intuitif.

Elaborasi Ikhwan al-Shafa lebih hebat lagi yang sarat dengan aspek metafisis dan praksis sufistiknya; yakni, mencapai kesejatian jiwa dengan cara asketisme (zuhud) untuk mengembalikan imaterialitas jiwa (pureness) agar bergabung ke tempat sorgawinya.

Proses ini dilakukan dengan melepaskan belenggu hasrat dan nafsu (untuk tajrid) agar jiwa dapat mengepak menggapai bola-bola langit dan berdiam-merenung di sana bersama rombongan malaikat; sebagaimana yang telah dirasakan oleh bijaksanawan pendahulunya seperti Hermes, Trismegistus, Phytagoras, Plato, Aristoteles, Isa, Plotinus, dan Muhammad saw.

Demikian saya akhiri, karena sudah larut pagi. Selamat pagi :)

Catatan kaki:

[1] Telusuri perbincangan dan perdebatan ini dalam berbagi buku tentang etika umum dan filsafat moral.

[2] Eksplorasi lebih lanjut dalam pelbagai literatur yang relevan.

[3] Makna akal di sini adalah al-aql (bahasa Arab) atau intellect (bahasa Inggris) yang maksudnya tidak sama dengan rasio, nalar-diskursif, maupun reason; melainkan al-aql adalah dimensi (mata) hati yang mampu menyongsong alam ilahiah.

[4] Lihat KBBI.

[5] Lihat catatan kaki nomor 3.

[6] Dalam sebuah hadis (maudu, barangkali :D) berbunyi, “Merenung satu jam lebih baik dari salat sunnah ratusan rakaat.” Dalam al-Hikam, Ibn Atthaillah al-Sakandari mengatakan, “Renungan adalah kendaraan hati”—untuk tur melanglang buana ke alam lain.

Posting Komentar

0 Komentar