Ad Code

Responsive Advertisement

Kegilaan, pengetahuan, dan kekuatan kekuasaan

Aku ingin menyampaikan tentang kegilaan. Aku memulainya dengan mempermasalahkan “Apa itu kegilaan?” Siapa yang menciptakan kegilaan? Tuhan atau Alam atau muncul dengan sendirinya? Aku telah meneliti beberapa referensi, dan akan menunjukkannya secara historis.

Pada abad ke-15 hingga ke-17, orang gila tidak seperti yang kita pahami sekarang. Saat ini, kita mengidentifikasi orang gila sebagai orang yang kehilangan akal sehatnya dan yang tidak dapat melakukan penalaran tentang sesuatu. Namun, pada abad ke-15 hingga ke-17, orang gila diidentifikasikan sebagai orang yang jenius dan memiliki pikiran kreatif. Lalu, yang gila adalah mereka seperti Francis Bacon, Leonardo da Vinci, Rene Descartes, Galileo Galilei, dan lain-lain yang berperan menggerakkan era mereka.

Kita tahu bahwa abad-abad sekitar itu adalah zaman Renaisans di mana ilmu pengetahuan dan peradaban bergerak maju. Saat itu, masyarakat menyematkan kegilaan pada mereka. Semuanya adalah orang gila. Faktanya, sebelum era ini, orang gila selalu diidentikkan sebagai orang yang berada di luar orang normal. Kita juga dapat menyebutkan Ibrahim, Musa, Yesus, Socrates, dan Muhammad, untuk menyebutkan beberapa orang yang dituduh sebagai orang gila.

Mulai dari abad ketujuh belas dan kedelapan belas, definisi dan konotasi kegilaan telah diubah. Kita tahu bahwa pada zaman Aüfklarung atau Zaman Pencerahan orang-orang didorong untuk berpikir mandiri, sapere aude. Orang yang tidak dapat menggunakan pikirannya dan juga kehilangan akal dan kesadarannya adalah orang gila. Pada masa ini, masyarakat mulai mengucilkan, menghalau, dan mengeliminasi mereka dari suatu stratifikasi sosial.

Situasi ini kemudian diperkuat dengan munculnya psikiatri dan pembentukan disiplin ilmu psikologi. Para psikiater memiliki otoritas untuk mendefinisikan, meredefinisi apa itu gila, dan memasukkan serta mengklasifikasikan siapa yang gila. Ini bukan hanya bidang psikologi. Aku mencermati soal ini, dan aku menganggap bahwa ini menunjukkan korelasi antara “ilmu”, “kekuasaan”, dan “kegilaan”.

Psikolog dan psikiater menggunakan pengetahuan untuk mendefinisikan, menjelaskan apa itu waras dan gila. Setelah itu, mereka mengklasifikasikan, menentukan siapa yang gila dan siapa yang waras dengan standardisasi mereka. Mereka membuat garis demarkasi antara yang gila dan yang waras. Ini adalah dikotomi kasar oleh psikolog dan psikiater.

Dalam hal ini, “pengetahuan” adalah “kekuasaan”, dan kekuasaan adalah otoritas yang dapat mengonstruksi wacana. Tentu wacana kita, cara pandang kita tentang kegilaan, ditentukan oleh standardisasi. Jelas, itu berarti kegilaan diciptakan oleh kita, oleh manusia, berdasarkan pengetahuan. Pengetahuan dalam konteks ini niscaya memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk melegitimasi sesuatu dan juga mengandung supremasi untuk menilai apa ini dan apa itu.

Dengan pengetahuan, manusia mengonstruksi batas-batas, bahkan bisa dibilang mengonstruksi realitas. Oleh karena itu, realitas kita bukanlah realitas-pada-dirinya-sendiri, tetapi hanya apa yang kita bangun, apa yang kita ciptakan. Singkatnya, kegilaan bukan hanya masalah psikologis murni, tetapi terutama intervensi pengetahuan dan kekuasaan. Kegilaan diciptakan oleh pengetahuan yang dibantu oleh rezim kekuasaan.

*24/11/2020



Posting Komentar

0 Komentar