Being secara bahasa adalah ada. Dalam filsafat, being menjadi bahasan yang paling pokok di dalamnya. Being sebagai konsep merupakan pembedahan terhadap apa yang ada. Hal ini adalah bagian dari kajian ontologi. Pembahasan tentang being telah dimulai semenjak era filsafat Yunani Kuno. Socrates adalah tokoh pertama kali, sebab sebelumnya, filsafat Yunani Kuno mendedah persoalan kosmologi dan arkaisme. Sedangkan masa Socrates adalah transisi pembahasan antroposentrisme.
^Ditulis pada 6/5/2019
Dalam filsafat
modern, being menjadi pembahasan pokok untuk mendedah ke-ada-an,
keadaan, dan keberadaan manusia—seperti telah ditunjukkan dalam filsafat
eksistensialisme. Intisari filsafat eksistensialisme adalah menunjukkan
kekhasan being manusia, kebebasannya, historisitas, dan relasinya dengan
di luar dirinya. Hal ini menjadi topik dalam kajian filsafat modern untuk
mengonfrontrasi tendensi positivisme dan neologisme pada saat itu.
Bagi Sartre,
manusia adalah etre-pour-soi. Selain manusia hanyalah etre-en-soi.
Maksudnya, hanya manusia yang sebagai being memiliki kehendak bebas.
Melalui kehendak bebasnya, manusia dapat memutuskan dan menentukan. Bagi
manusia yang tidak punya kehendak bebas, Sartre menyebutnya etre-en-soi,
yang juga berlaku bagi maujud infrahuman.
Dalam filsafat
Islam, being atau wujud dibagi menjadi dua, yaitu wajib al-wujud
dan mumkin al-wujud. Hal ini terlihat dalam filsafat al-Farabi dan Ibn
Sina yang memancangkan konsep emanasi ala Plotinus.
Wajib al-wujud dipahami sebagai
Tuhan yang wajib ada, sedangkan mumkin al-wujud adalah segala sesuatu
selain Tuhan, yaitu makhluk. Ini menunjukkan bahwa being selain Tuhan
bergantung pada wujud Tuhan Yang Maha Ada.
Dalam perkembangan
filsafat Islam selanjutnya, polemik being mengental dalam dua tokoh,
yaitu Suhrawardi al-Maqtul dan Mulla Sadra. Bagi Suhrawardi, esensi adalah
prinsipiil, sedangkan bagi Sadra, eksistensilah yang prinsipiil.
Filsafat Sadra
lebih maju ketimbang Suhrawardi, sebab Sadra membabarkan tentang ambiguitas
wujud, gerak subtansial, dan prinsipiilitas wujud. Ketiga konsep tersebut
menandai tipikalitas filsafat Sadra yang mengonfrontasi esensialisme
Suhrawardi.
Suhrawardi
berpendapat bahwa esensilah yang ada, sedangkan eksistensi adalah cuatan
sekunder dari esensi. Sadra menolak itu, sebab bagi Sadra, eksistensi itu riil,
sedangkan esensi datang kemudian sebagai suatu abstraksi dari in-der-Welt-Sein
manusia. Makanya, filsafat Sadra gemar dipahami oleh sarjanawan Barat
kontemporer sebagai filsafat eksistensialisme. Hal ini dapat dibandingkan
secara parsial dengan pemikiran Sartre, tetapi tentu patut digarisbawahi bahwa
filsafat Sadra melaju pada metafisika yang kukuh dan rigoris.
Dalam perkembangan
filsafat selanjutnya, Muhammad Iqbal menandaskan konsep being manusia
sebagai khudi. Istilah itu menandaskan bahwa historisitas manusia yang
otentik dan berkesadaran adalah Ego yang menuju pada Ego Besar, yaitu Tuhan.
Khudi ala Iqbal melajur
pada tataran metafisika dan etika. Semangat Iqbal dalam menjelaskan manusia
sebagai being yang selalu bergerak dapat dilihat dari latar belakang sosio-politik
dan peradaban umat Islam kala itu. Konsep Iqbal memang eksistensialistik,
tetapi ia juga mengambil pemikiran dari Whitehead mengenai entitas aktual yang
berkembang. Oleh karena itu, Iqbal menunjukkan semangat zamannya.
Konsep being
dalam filsafat Barat dan metafisika Islam selama ini hanya melaju pada tatanan
abstraksi terhadap manusia dan Tuhan. Anehnya, ada sesuatu yang dilupakan,
seperti maujud infrahuman.
Ilmu-ilmu alam
dari biologi molekuler hingga rekayasa genetika tentu tidak bisa menjelaskan
persoalan being infrahuman dengan telaah filosofis. Oleh karena itu,
perlu perluasan garapan untuk melakukan telaah ontologis mengenai being
selain manusia. Filsafat terlalu membosankan apabila membahas melulu tentang
manusia, lebih-lebih Tuhan.
0 Komentar