Sepintas aku pernah tebersit suatu bayangan bersuasana kelak. Khayalku melukiskannya begini:
Kita duduk di sebuah ayunan, tanpa ada yang lain
selain muwajahah kita sebagai kiblat wasilah. Delapan penjuru yang mengufuk
tanpa punya ujung, kita lumat di atas ayunan percakapan: inilah percumbuan
percakapan.
Ayunan itu adalah semesta raya yang kunamakan: “kamar
pengantin keabadian”. Kita bercakap-cakap dan berkelakar dengan suara yang
berbalas-balasan. Riuh-rendah dunia yang hina-dina terpadatkan dalam mantra
percakapan sakral kita yang penuh kemesraan.
Aku berbicara tentang daun berisik karena pawana merisik,
tentang duri yang menempel di tangkai mawar, tentang onggokan tanah yang sabar
bencana, tentang niat yang tumpah dari cerek waridat.
Kau berbicara tentang hijaunya rerumputan, tentang
bunga yang disinggahi lebah, tentang gumpalan awan yang taat pada angin,
tentang ingin yang bersumber dari angan.
Kita bicara tentang segala apa yang membentang di
langit dan di dalam diri. Semesta cukup khusyuk menyimaknya. Sarwa menjadi
saksinya. Sampai sunyi menghampiri, lalu menghadiahi pendengaran yang tajam.
Hingga kita dapat mendengar jantung kita masing-masing, yang berdegup-degap
bersahutan.
Gemuruh dari relung menyeru: “Percakapan kalian hanyalah seruling yang melengking. Bukan bibir kalian yang mengucapkan, tapi ada bibir lain yang meniupkan bunyinya.” Dan pada akhirnya kita hanya mampu tertunduk khusyuk dalam diam, bersama semesta yang lengang.
0 Komentar