“Tafsir itu boleh saja ditarik ke mana saja. Sejauh-jauhnya. Sejauh yang paling jauh. Tetapi, sejauh-jauhnya itu, tetap harus mengacu pada konteks.”
Tulisan ini
mencoba menguliti pernyataan di atas yang pernah dilontarkan si pengampu dalam forum
diskusi daring via WhatsApp. Pernyataan tersebut menurutku, setidak-tidaknya,
kontradiktif dan didaktorial.
^Ditulis pada 6/6/2018
dini hari untuk sebuah grup diskusi di WhatsApp
*
Mohon maaf jika
tulisan ini cukup panjang (dan tidak berkaitan dengan “esensi cerpen media”,
melainkan tentang “kegiatan interpretasi”). Tulisan ini cukup panjang, sehingga
butuh alokasi energi lebih [bukan berlebih] untuk membacanya. Pun, energi
tersebut mustinya diaktifkan sebagai ‘pergulatan pikiran’ bukan ‘resepsi
emosional’. Sebab, ruang publik ialah ruang percakapan, ruang yang dibangun
dengan dialog rasional, sehingga pemadaman sentimental diniscayakan.
Ini bukan tulisan
untuk berdebat [yang konotasinya telah pejoratif dan stigmatif], tetapi sekadar
ekspresi ‘konfrontasi pikiran’ yang [membangun hubungan] intim dan dialogis.
Juga, tulisan ini bukan disuguhkan sebagai traktat atau diktat kuliah yang
menjemukan dan selalu diacu sebagai pedoman yang-benar, melainkan tulisan ini
adalah ‘yang-berbeda’ [bisa jadi: yang-salah] untuk sekadar memekikkan suara
yang diserakkan [atau bahkan yang coba-dibungkamkan] oleh “otoritas-tunggal”
yang gagah.
Setalah saya
renung-renungkan pikiran dalam alinea-alinea tsb; selain saya memergoki kelebat
“kontradiksi-pikiran”, saya juga menangkap “gerak diktatoristik” dalam
kalimat-kalimat tersebut.
(Semua ini ditulis
dengan sepemahaman saya yang cukup dangkal dan didominasi kemungkinan salah):
Kontradiktifnya: Bagaimana
mungkin kita mengufukkan penafsiran di satu sisi, tetapi secara simultan
ternyata terjerembap dalam pijakan konteks di lain sisi? Apakah itu sebentuk “lari
di tempat”? Sejauh-jauhnya, sejauh paling jauh [dengan cara] melabuhkan diri
pada konteks? Bahasa lain: “muasal dan muara kita disekap dalam konteks.” Lalu,
apa itu “yang-jauh”? Hanya jauh untuk ja[t]uh [di lubang konteks], di pemakaman
purba yang membuat “eksistensi penafsiran” dan “penafsiran eksistensial” kita
menjadi tidak melar dan tidak beranjak?
Diktatorialnya:
Seolah penulis [ingat: saya sebut “seolah”] ingin memonopoli “kebenaran”, bahwa
yang-benar adalah penafsiran yang melabuhkan diri pada konteks, “… tetap harus
mengacu pada konteks.” Menurut saya, tafsir selalu tafsir. Ia bertindak
sekreatif mungkin, sesuai kapabilitas, s[t]imulasional, posisional, dan segala
aspek internal-eksternal yang melingkungi interpretator. Kita bisa membuktikan
bahwa penafsiran dapat bebas-utuh dari “konteks”. Pertama, dengan cara
menganggap [atau mentransfigurasikan] konteks menjadi teks. Maka, posisinya di
sini menjadi setara. Tidak ada yang diprimerkan maupun disekunderkan (dalam
bahasa kasar: tidak ada yang dijadikan dogma sakral untuk diacu sehingga ihwal
tersebut mengeleminir upaya indoktrinasi dalam proses penafsiran).
“teks - (kon) teks”:
berjalin-kelindan,
melilit-sengkarutan, koyak-mengoyak, susup-telusup, dan berebut-rebutan untuk
memenuhi pompa degupan dalam “aktivitas penafsiran”. Dari sini, proses
penafsiran tidak dibayang-bayangi oleh ‘dogma’ konteks.
Kalau kita tidak
setuju melenyapkan “dogma konteks”, tentu itu berefek pada proses penafsiran
kita. Penafsiran menjadi terbebani untuk mengangkut (serta mengungkit-ungkit) konteks
kesejarahan. Oleh karenanya, kita mentransfigurasi konteks hanya menjadi teks
semata. Hasilnya: tidak ada lagi yang mendominasi, dan “konteks” tidak bisa
semena-mena melakukan subordinasi terhadap yang-bukan-konteks. Kita bebas.
Akhirnya kita [telah] dapat menarik tafsir sejauh-jauhnya, tanpa bernostalgia
atau bertumpu pada jeratan konteks [yang dikenang-kenang dan yang di kenangan].
Kedua, memahami bahwa
penafsiran adalah kegiatan (mem)produksi, bukan reproduksi. Bagaimanapun
keadaannya, tindak penafsiran di “masa sekarang” yang berjumpa dengan
naskah/teks [dengan segala bio-historiografi yang membidaninya] di “masa silam”,
akan menjadi wajah penafsiran yang produktif. [Masa silam yang dimaksud adalah
tanpa-konteks, karena konteks telah ditransfigurasikan menjadi teks; sama-sama
teks yang berdusel-duselan atau berjubel-sesakkan.] Dengan itu, penafsiran
bukan lagi reproduktif. “Reproduktif” di sini dimaksudkan pada tafsiran yang
repetitif, hanya menumpukan kembali pada beban konteks asalinya.
Contoh
sederhananya: bila menafsirkan sejauh-jauhnya tapi tetap mengacu pada konteks,
itu hanya memerlukan kecakapan historis (masa silam), bukan [sekaligus] dengan
kecakapan eksistensial (masa kini) dan kecakapan visionaris (masa datang).
Tutorial penafsiran reproduktif: Kita hanya perlu, katakanlah, membaca sebuah esai,
misalnya Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus
Bicara, yang mengulas tentang cerpen-cerpennya; lalu kita mengulang kembali
ulasan-ulasannya. Inilah penafsiran reproduktif. Hanya penyalinan. Opini kita
hanyalah replikatif, imitatif, atau bahkan plagiatif(?)
Sedangkan dalam
penafsiran yang produktif, berarti interpretator berani beranjak [tentu dengan
cara melupakan atau minimal meminggirkan] jangkar konteksnya; Sehingga,
penafsiran menjadi baru, segar, dan bersuasana non-repetitif. Di situlah kita
melakukan analisis-kritis (yang produktif), bukan sekadar deskripsi-historis
(yang reproduktif-repetitif).
Dari sini kita dapat memproduksi makna baru secara otonom-kreatif (memang kita tidak bisa berdialektika independen, karena realitas selalu mencekam kehadiran kita; otonom yang saya maksudkan adalah jalin-kelindan dan jahit-menjahit antar dan intratekstual) dan bukan sekadar mereproduksi dari konteks historisitasnya, mereartikulasikan maksud Seno—yang bahkan begitu mudahnya dapat kita kopas secara bebas dari blog-blog yang bertebaran.
Dari sebegini
panjangnya “konfrontasi pikiran” saya atas pikiran pernyataan di muka, saya
ingin menyampaikan bahwa janganlah kita memonopoli tolok ukur kegiatan
interpretasi. Pemahaman pernyataan di muka memang benar, tetapi janganlah
menegasikan “pemahaman kami” yang mungkin menurut pernyataan itu adalah salah.
Jika memang “pemahaman kami” [perihal proses interpretasi] adalah salah, maka
maklumilah [keberadaan] “keberbedaan kami” yang salah; atau “keberbedaan”
itulah yang [bahkan] Anda sinonimkan dengan “salah”? ... (Kenapa saya pahami “kami
salah”? Sebab, redaksi Anda tertangkap eksplisit “meminggirkan” yang-lain;
yang-lain adalah berbeda, bersinonim “salah”[?]).
“Kami punya suara:
suara yang menggemuruh dari pikiran, bukan suara yang menggerutu secara
emosional.”
Mohon dimaafkan tulisan saya di atas dan boleh untuk segera dilupakan. Yang boleh diingat adalah di bawah ini:
"Selamat menikmati santapan sahur, bagi yang sedang menyantapnya." Dan sahur merupakan kegiatan eksistensial, bukan kegiatan pendiktean.[]
0 Komentar