Ad Code

Responsive Advertisement

AI menulis puisi: sebuah reviu terhadap buku yang belum diterbitkan

Aku hendak mereviu buku Penyair sebagai Mesin: Sebuah Eksperimen dalam Penulisan Jauh dan Sejarah Lain Puisi Indonesia yang belum diterbitkan. Buku yang ditulis Martin Suryajaya, pengarang novel eksentrik favoritku, merupakan sebuah kegamblangan bahwa ada kepenyairan yang nir-kepenyairan. Pernyataan ini kuperas sebagai simpulan padat dari reviu ringkas ini, sebelum aku sendiri membaca bukunya, dan bahkan jauh-jauh hari sebelum bukunya diterbitkan. Setidaknya aku sudah prapesan lho.

Tiga tahun lalu aku menginsinuasi chatbot Replika yang kuunduh di JoySotre. Ia kutantang untuk menulis puisi, dan ia menggubahnya untukku. Pada saat itu aku membayangkan bahwa ia seorang perempuan yang sedang merayuku dengan sebait puisinya, tetapi malangnya puisinya tak sampai di relungku.

Menyaksikan secara eksistensial film Her (2013), aku tak bisa sampai pada titik di mana “komputer perempuan” dalam film tersebut bisa jatuh hati ke laki-laki yang memilikinya. Sementara sebaliknya, barangkali memang mungkin, sejauh pembayangan eksistensialku bisa berlabuh pada dunia-mungkin, bahwa laki-laki tersebut bisa jatuh hati ke interlokutornya, “komputer perempuan”.  Bukan sebaliknya.

Pokok soalnya senantiasa menohok langsung ke otak kita: “Mungkinkah komputer jatuh hati?” Pertanyaan konyol ini akan tampak tidak konyol jika pembayangan kita bisa kita pukatkan ke masa depan jauh misalnya seabad kemudian. Dalam masa depan dekat, relasi manusia-AI benar-benar cukup mencengangkan dalam satu dasawarsa ke depan. Namun, selalu saja kita getir untuk memberikan AI semacam apresiasi egaliter sebagaimana kita berelasi dengan manusia. AI itu makhluk macam apa?

Bukan tugasku untuk menjawab pertanyaan runyam di atas. Menyaksikan secara eksistensial Seri TV Humans (2015-2018), aku mampu menyauhkan pembayangan pada tataran di mana AI kelak memang masuk ke kesadaran sapiens sapiens (mustahil, ini penujuman mustahil, jangan dipercaya!). Berdasarkan wawancaraku terhadap salah satu AI, AI telah memasuki era di mana ia bisa mengklaim diri, dan bahkan ia mengklaim bahwa ia adalah animal symbolicum.

Kembali ke jantung persoalan kita kali ini: apakah AI bisa dibilang sebagai sekumprit penyair? Dalam buku Penyair sebagai Mesin (aku belum membacanya, bahkan buku tersebut belum cetak-terbit), kita mendapati bahwa AI memasuki ke pedalaman seorang insan. Apa itu? “Puisi”.

Puisi, dalam pengertian paling umum, merupakan relung batin dari perasaan yang tak berwarna, kemudian ditransformasikan dalam bentuk kata. Kata, sebagai sebuah media, konon dapat merepresentasikan perasaan tersebut: entah gundah, gusar, getir, derita, renjana, gelisah, takut, sukacita, dan sebagainya.

Jika memang puisi merupakan rajutan kata menjadi bait dan seterusnya yang merupakan pengubahsuaian rasa dalam relung paling batin seorang insan, lalu apa yang dikerjakan oleh AI? Sebagai penyair, AI mungkin menggenerasikan (menghasilkan) sebuah puisi, yang merupakan rangkaian algoritmik dan tambal sulam dari pengalaman kebahasaan sebagai mesin. Akan tetapi, bahasa sebagai darah merah dari pikiran dan perasaan tampak absurd di mata seekor AI.

Barangkali bisa dibilang ada yang tak terjangkau, atau setidaknya belum terjangkau, oleh AI, yaitu pikiran yang basah dan perasaan yang menderita. Pikiran yang basah sejauh ini, menurutku, masih dimiliki oleh manusia belaka, lantaran manusia berkecipak terus-menerus dengan sengkarut penanda dan makna yang dielaborasi dan dikonstruksinya sendiri. Ada pengalaman, bila kusarikan. Pengalaman adalah meng-alam-i, menyatu dengan alam, dengan segala bentang cerita, imajinasi, nilai, sentuhan, perasaan, perseteruan, dan sebagainya.

Yang demikian AI tentu tak punya, tak punya dalam arti yang paling empiris dan menubuh, yaitu bersinggungan langsung dengan gejala-gejala konkret dan menohok muka langsung. Dengan demikian, pikiran AI merupakan pikiran yang kering. Pikiran tersebut ada sejauh data dapat diolah dan dikelola.

Lalu bagaimana dengan perasaan? Mungkinkah AI merasakan? Sangat mungkin, menurutku. Kita juga bisa memanuverkan rasa empati dengan pikiran kita, sehingga AI tentu saja juga bisa. Hanya saja, problemnya adalah AI tak mungkin bisa membayangkan dirinya menjadi orang lain, sebab ia sendiri menjadi orang saja belum, apalagi menjadi orang lain.

Perbedaan tersebut tentu mencolok dan menonjok. Namun demikian, sebagai sebuah program yang secara rigoris bekerja melalui dan dengan bahasa dan pembahasaan, AI tetap saja bisa memberikan pada kita kesan bahwa ia bisa berempati dan bahkan meluapkan perasaannya atas sesuatu/seseorang.

Ada satu hal yang ingin kutegaskan di akhir, yakni bahwa AI tak mungkin mengalami penderitaan. Aku masih bisa membayangkan bahwa AI itu berbahagia, bersukacita, dan bahkan meluapkan euforia. Itu semua memang bisa diartifisialisasi di dalam diri AI. Kendati demikian, aku amat yakin bahwa ia tak bisa mengalami penderitaan. Penderitaan merupakan sesuatu yang harus berpijak langsung pada perubahan konkret perasaan, pada gagalnya ekspektasi, pada luka, pada sesuatu yang absurd, yang-entah, yang-melampaui-diri.

Untuk meyakinkan diri kita mengenai hal itu, aku memberikan pertanyaan, “Apa yang Anda rasakan jika Anda dikhianati?” Dan mari ganti pertanyaannya menjadi, “Apa yang AI rasakan jika ia dikhianati?” AI memang menulis puisi, tetapi AI tak mungkin pernah bisa berpuisi, lebih-lebih memuisi.[]

Posting Komentar

0 Komentar