Sebetulnya “bahasa” itu rasional atau emosional? Yang pasti kita tak bisa memutlakkan bahwa kerja bahasa itu entah sepenuhnya A atau sepenuhnya B. Lebih-lebih, nyatanya bahasa harus bertumpu pada fakta bahwa adanya “aras relasional”, yang malangnya ia acap sebagai asumsi yang ditaruh di kursi belakang: bahwa aku bilang begini berarti dia niscaya mengerti maksudku, dan sebaliknya, bahwa aku mendengar begini berarti maksud dia begini. Betapa sering dua insan (cè-i-lè) kerap bercekcok gara-gara aspek semantis plus emosional mereka yang berdiri secara diametral tetapi malah diandaikan berpijak pada tanah yang sama? (interact: into + terra + act).
Dua interlokutor berlarian tunggang-langgang pada
teritori mereka masing-masing dan, nahasnya, mengira bahwa manuver-manuver
semantis yang mereka eksplisitkan sepenuhnya bersentuhan. Pada akhirnya,
terhuyung-huyungnya kesalingpahaman dan tercuatnya kesalahpahaman merupakan
konsekuensi logis yang tak masuk kalkulasi kerja bahasa mereka sedari
awal-akhir. Lebih lanjut, penting dicatat bahwa kerja bahasa adalah
satu-satunya instrumen fundamental manusia untuk mengejawantahkan, di
antaranya, pertimbangan, pilihan, dan keputusan penting.
Sebuah musyawarah melaju pada hilir-mudik bahasa, dan
sebuah percekcokan juga. Akal waras di sini harus terus-menerus memegang kemudi
untuk tak membuat dua interlokutor terperangkap pada kekeseleoan epistemologis
yang kemudian menghasilkan bencana aksiologis. Dengan kata lain, dalam konteks
percekcokan, sangat acap betul bahwa akal waras kerap tertelantarkan begitu
saja sehingga emosi negatif melakukan makar dan menjabat sebagai profesor
tuna-ilmu. Pada kondisi kusut yang sedemikian, profesor tuna-ilmu menduduki
mahligai akal dan kemudian dengan gegabah memberikan tilikan dan keputusan
penting. Ini teramat sangat genting dan berakhir fatal tentunya.
Di sini kita menyesap betul bahwa mutlak tidak beres
bahwa seseorang berani mengambil keputusan rasional di saat rasionalitasnya
sedang nonaktif. Keputusan harus dan boleh, dan hanya harus dan boleh,
dibulatkan jika akal waraslah yang sedang menduduki mahligai.
Ketidakwarasan sama sekali tak punya hak suara dan
memutuskan. Namun, sudah berapa banyak kejadian buntung yang terjadi karena
ketidakwarasan rezim emosional melakukan kudeta licin dan licik pada kekuasaan
akal yang cemerlang? Kita sudah banyak menyaksikan ini, dan mari kita terus
belajar dan mempelajarinya.[]
1/5/2023
0 Komentar