Bila prosa ini ditakdiri untukmu, aku ‘kan dihabisi dan dikoyaki janjijanji sepi hingga berdarah di dalamnya, di dalam abjad, di dalam kata, di dalam kalimat, di dalam paragraf: tubuhku terlentang terbentang menantang yang menghadang.
A B C B A nganga tawa terbuka bukit duri dari taritari
lereng yang gelappengap t’lah tersingkap hingga gelagapan gegap pikiran
diradang perih yang nyaris mengikis habis.
René Magritte. The Double Secret, 1927. Oil on canvas. 114 x 162 cm (44.8 x 63.7 in). Hannelore Foerster via Getty Images |
Nyawa pertama pungkas di kemejamu, di kerudungmu, di
rokmu, di sepatumu, mulutku merapal memintalmintal ratap atap banjir tangis
mengiris jantung amis tanpa sempat meringis.
Nanah lara luka duka ditabur bunga di pemakamanku
tinggal tanggal telanjang tulangbelulang yang digeletakkan serampangan dan
sembarangan.
Enyah rindu gerutu di hadapmu, di hadap matamu, di hadap
keningmu, di hadap pipimu, di hadap bibirmu, di hadap gigimu, di hadap lidah
nyawamu yang senyawa dengan nyawaku.
A B C B D E E D C B A aahh prosaprosa kutulis
habishabis bermaknamakna namamu di sadarku terlecut jadi kelu celup tutup
terkuncup nalarku ‘tuk ngelantur igauigau walau mengigau. Kau mengajariku
merantau dari igau ke igau. K A U
0 Komentar