Di sebuah warung, tempat kopi menjadi kawan merenung. Tiba-tiba datanglah seorang penyelidik bertanya padaku, apakah aku seorang teroris atau bukan.
Tentu aku bertanya balik, “Atas dasar apa Anda menuduh
saya? Apakah pertanyaan Anda ada rujukannya?”
Penyelidik menjadi gagu. Aku berkesempatan melempar
pertanyaan tertutup, “Pastilah Anda yang seorang teroris?”
Ia hanya kelabakan. Lalu terbirit-bjrit untuk segera
menjiplak pertanyaanku yang kuajukan padanya sebelumnya, “Atas dasar apa Anda
menuduh saya? Apakah pertanyaan Anda ada rujukannya?”
Dengan cepat-cepat aku menjawab, “Rujukan saya
berdasarkan fakta.”
Aku yakin, ia makin gelagapan mengutarakan kegagapan
atas ketidakpahamannya. “Maksudnya?" tanyanya secara naif.
“Bukankah saat ini Anda sedang meneror saya yang
sebelumnya sedang memandangi uap kopi meretaskan asap ke atas, dengan cara Anda
ciptakan kengerian tudingan Anda yang tidak berdasar?”
Penyelidik seperti mencopot mulutnya di sudut sempit
nalarnya. Aku tahu tepat bahwa otaknya sedang mangap. Dengan kuselendangkan
jejalan pertanyaan, ia segera terbirit-birit dan melangkahkan kaki dengan
berjinjit-jinjit.
“Kini, aku berhasil menerornya,” begitulah kubisikkan
pada kopi yang sedang menungguku untuk segera kuseruput.
^25/5/2018
0 Komentar