Kalaupun harus dia, bawalah aku ke sana. Kau sendiri yang menyuguhkan padaku 'tuk kumiliki, lalu, jangan sampai habis-habisan kau kecewakan, kau ambil lagi, atau kau halang-halangi, kau sirnakan begitu saja.
Tapi . . . Apakah
benar, itu dia, yang kaumaksudkan? Ah jangan-jangan ini sekadar iming-iming; Kau
pun nihil jawab, tak bergudik dan hanya bergeming. Selain itu, jika memang ‘ini’
menjadi alat penyatu, demi keterlengkapan eksistensial, benarkah bahwa dia juga
merasakan yang demikian. Sial! Aku pun turut bungkam, karena berlepotan
pertanyaan-pertanyaan yang tak tersedia jawabannya.
Masih satu yang
kutahu, “cinta tak tahu alasan”. Pengetahuanku tentang itu pun masih berjubel
lumuran pertanyaan; yang paling mendasar, “kenapa aku harus tahu tentang itu?”
Haruskah aku
menunggu dia, untuk terlebih dahulu menyapa, mengucapkan padaku, “Hei!” Mustahil,
meski keajaiban menjadi kemungkinan yang bisa diandalkan. Akan tetapi, dia
lebih tahu prioritas bungkam, tak kunyana untuk inginkan sapanya. Atau malah,
dia tak merasakan ledakan-ledakan ini, yang mematri dalam tiap toreh tulisanku
ini.
Cinta membawa kita
pada renungan-renungan, dengan jarak yang tipis dililiti khayalan-khayalan.
Panah angan melesatkan lesap entah nun sana, kembali lagi ke patahnya pena.
Lalu, masihkah ada
yang harus ditunggu, bila kedatanganmu menjadi lesapmu, bak asap kukepulkan
ditelan udara, langsung lindang? Meski lindang, tapi sembulmu lindap-lindap,
kehadiranmu adalah nyata, begitu saja membetik di bersit khayal ini.
Bila memang
fisikmu tak nampak, karena aku tahu, jarak memanggut rengsa untuk mencelotehi
bahwa ada dan tidak pun masih tetap bermakna. Kamukah makna? Walau, parau-parau
ceracau nawala patra ringkas ini mengguratkan tentangmu, lebih tepatnya adalah
guratan tentang aku terhadapmu, adakah telingamu menyimaknya? Meski aku yakin,
pendengaranmu menancap di mana-mana, sigap memasang kuda-kuda tapi dipasung
gengsi yang gagah. Tidak! Kamu tidak pasang gengsi, hanya kamu tak bisa
mengindahkan ini.
Xdmklrmt. Itulah
namamu yang buatku nanar merana, ingin kusebut lebih cepat, sebab sambaranmu
sehentak dengan sapuan kilat.
Semoga, lirik dari
pedih yang kusemburkan dengan lirih ini, bersemburat terdengar lamat-lamat di
telanjangnya haribaan gerbang hatimu yang siap terbuka menyambutku dengan pesta
meriah. Adakah itu semua?
Ah! Aku sekarang
gemar mengada-ada.[]
*18/12/2017
0 Komentar