Ad Code

Responsive Advertisement

Manusia adalah bahasa

“Batas bahasaku,” ujar Wittgenstein, “adalah batas duniaku.” “Dan bahasa,” gusar Whitehead, “berhenti di depan pintu intuisi.”

Homo sapiens sebenarnya adalah animal symbolicum—seperti dicandrakan Ernst Cassirer—yang memiliki cakrawala lebih luas ketimbang hayawan al-nathiq ('al-nathiq' terkadang diterjemahkan “berpikir”, tetapi lebih tepatnya diseret ke arti “berbahasa/berbicara”, sesuai serapannya dari kata logos, yakni firman, bukan logic. Berbahasa merupakan satu-satunya aspek mendasar dalam kehidupan berbudaya, maka tidak mengherankan apabila keunikan manusia mengada di dunia adalah berbahasa atau berbicaranya dengan bahasa.

Apa jadinya bila binatang mampu berbahasa? Tetapi bukankah binatang juga berbahasa? Iya, tetapi tidak, karena binatang berbahasa tidak seperti pengertian “bahasa” yang digunakan manusia. Binatang juga mampu berbahasa, tetapi lebih tepatnya kita sebut saja “berkomunikasi”, bukan berbahasa. Jika binatang mampu berbahasa, maka mereka mampu menciptakan ilmu pengetahuan dan peradaban besar layaknya manusia. Tentu, konsekuensinya, manusia akan saling bersaing dengan binatang.

Bahasa manusia mampu menciptakan abstraksi terhadap objeknya. Jika binatang melakukan komunikasi/interaksi apabila sedang ada objek faktualnya, maka manusia berbeda. Manusia dapat membicarakan objek yang sedang tidak hadir di waktu pembicaraan tersebut. Misalnya, seseorang dapat merencanakan masa depannya, atau mengingat-ingat masa lalunya—tidak bagi binatang. Atau bahkan, manusia tidak hanya bisa “merencanakan” abstraksinya saja, melainkan dapat menciptakan “istilah-istilah” baru, yang dengannya dunia baru dapat dicandarakan.

Seribu tahun yang lalu, tentu kita ketahui bahwa belum didapati istilah elektron, neutron, proton, quark, dan sebagainya karena memang pencapaian science dan sense-nya belum sampai ke taraf itu. Dalam berbudaya pun juga demikian, satu dasawarsa yang lalu belum tercipta istilah “generasi milenial”, tetapi sekarang ada khazanah kata budaya yang baru untuk melekatkan istilah tersebut.

Tanpa bahasa, manusia tidak akan berbudaya dan berperadaban. Binatang melakukan komunikasi hanya sekadar menjadi tameng resistansinya untuk beregenerasi, sedangkan manusia sebagai makhluk kultural tidak berhenti di situ, melainkan membangun peradaban besar melalui bahasa, dan oleh karena itu, ilmu pengetahuan dibangun melalui bahasa.

Bahasa dapat dikatakan sebagai serangkaian bunyi, yang disepakati untuk menunjuk sesuatu. Bahasa juga ditunjuk sebagai lambang untuk memberi suatu arti tertentu. Manusia merangkai lambang-lambang tersebut menjadi perbendaharan kata, yang sebenarnya merupakan hasil dari akumulasi pengalaman dan buah pemikirannya.

Bahasa mengomunikasikan tiga hal, yakni buah pemikiran, emosi, dan sikap. Pemikiran diungkapkan melalui bahasa simbolik; emosi' melaju pada aras estetis, dan sikap ditaruh dalam luapan etis. “Pengetahuan dan perasaan adalah sama pentingnya dalam kehidupan personal dan komunal,” kata Bertrand Russell, “dunia tanpa keindahan dan kemesraan adalah dunia tanpa nilai.”

Sedangkan, ditinjau dari aspeknya, bahasa memiliki dua aspek: aspek informatif dan aspek emosional. Ketika sedang berbahasa, kita pasti memuat kedua aspek tersebut. Seperti saat kita sedang memberi informasi, senantiasa akan mengandung unsur emosional di dalam bahasa kita, dan ketika kita mengekspresikan emosionalitas kita, tentu akan tebersit unsur informatif dalam bahasa tersebut.

Jadi, dengan bahasa, kita tidak hanya mampu berpikir tentang sesuatu, tetapi sekaligus juga bisa menginformasikannya kepada komunikan kita. Seseorang yang cakap sastra, mungkin akan meletupkannya melalui puluhan jilid novel, atau seorang penyair akan membacakan ribuan lembar sajaknya, atau seorang musikus akan menyampaikannya dalam musiknya.

Ringkasnya, dengan bahasa, manusia membangun peradaban. “Barangkali gorila memiliki ide jenuis,” celetuk Aldous Huxley, “tetapi percuma, buah pikiran dan ide jenius tersebut lenyap begitu saja, karena para gorila tidak
memiliki bahasa.”

“Bahasa adalah rumah Ada,” kata salah seorang dukun Jerman terandal, Martin Heidegger. Pernyataan filosofis campur klenik tersebut selalu menyeret saya pada permenungan yang lengang, dan sehingga membawa saya pada pernyataan sederhana, yaitu bahwa manusia adalah bahasa.[]

20/2/2017

Posting Komentar

0 Komentar