Menurut para pengamat politik, konstelasi politik kita sedang mengarah pada politik populistik. Apa maksudnya? Apakah ini menggembirakan bagi rakyat cilik? Atau malah ia sebagai kedok kodok mencaplok mangsanya?
Populisme macam
apa yang sedang bergairah di gagasan para politisi? Ideologi yang muluk-muluk
itu hendak dibumikan agar gampang diterapkan [secara jangka pendek] dan
dipahami sekaligus diamini wong cilik? Ataukah mereka hendak merangsang minat
wong cilik, untuk membeli suaranya? Benarkah mereka akan mengabulkan aspirasi
wong cilik?
Mungkin pertanyaan
yang terakhir, yang tergenting menjadi tumpuan term populisme. Setiap politisi
memang berhak berideologi. Tetapi, realisasi ideologi tersebut masih di ambang
kemungkinan. Pembelian suara rakyat hanya dengan uang utopia? Hhmmmzzz.
Mungkin kita
keheranan bila menyaksikan jual-beli dengan pertukaran khayalan [kita abaikan
saja politik uang yang memang menjadi watak politik kita]. Benarkah aspirasi
rakyat bisa bersimultan dengan populisme para politisi? Masihkah dapat
diharapkan bahwa ‘rakyat yang tertindas’ yang dalam konstelasi nasional menjadi
wilayah periferal dibopong menjadi cita-cita kenegaraan yang signifikan?
Bukankah memang ‘apa
yang seharusnya ada’ (das Sollen) musti demikian? Tetapi, faktualnya adalah ‘apa
yang ada’ (das Sein) tidak menampilkan yang demikian. Aspirasi selalu tinggal
aspirasi bila populisme politisi hanyalah untuk memenuhi ‘laparnya perut mereka’
secara sementara; dan aspirasi pada akhirnya dikembalikan pada mimpi-mimpi wong
cilik di malam hari.
Nah, kan, dengan
kecurigaan-politis kita, maka kita dapat meragukan jampi-jampi populistik
mereka yg bak polusi ekologis tersebut. Mari kita adem-ayem cekakakan
menyaksikan gairah banyolan para politisi kita. Mereka bak para komedian di
panggung politik yg tidak waras. Dan jurinya adalah kita, tilikan wawasan
mendalam yang sadar-waras.
^Ditulis pada 29/1/2018
0 Komentar