Simone de Beauvoir, filsuf perempuan abad 20 asal Perancis, mencanangkan ihwal transendensi manusia (khususnya perempuan). Kita tahu dalam rentang sejarah, patriarki merupakan sistem yang memercusuarkan diri sebagai penopang peradaban kemanusiaan.
^Ditulis pada 28/1/2018
Patriarki bukan sekadar sistem primitif yang masih
bercokol dalam modernitas. Bahkan, menurutku, humanisme yang berembrio mulai
dari Italia hingga Renaissance dan Aufklarung Jerman, semuanya ditopang
oleh fondasi patriarkisme. Berbicara patriarki di satu sisi, berarti
meniscayakan konsekuensi-logis adanya subordinasi dan stereotip gender atas
perempuan, di lain sisi.
Perempuan tidak pernah dianggap Diri Yang Otonom,
melainkan hanya sebagai Liyan (the Other) ketika bertatapan dengan Wajah Otonom
(laki-laki) sebagai subjek yang berdaulat dan bebas. Perempuan selalu
distereotipkan sebagai Liyan karena ke-lain-annya bagi skema patriarkis. Inilah
bencana, perempuan tidak pernah didaftarkan sebagai manusia, manusia yang
otonom, melainkan ia beretika secara heteronom: ini subordinasi yang
dilanggengkan melalui konstruksi dan terus direkonstruksi dalam stereotip
gender yang bersifat seksis.
Bagi de Beauvoir, itulah yang perlu diterobos oleh
perempuan. Transendensi atau pelampauan, perlu dilakukan untuk menghancurkan
stereotip ala patriarki yang banal dan binal tersebut. Simone de Beauvoir
memiliki proyek transendensi tersebut dengan menawarkan tiga kegiatan yang
musti dilakukan perempuan.
Pertama, perempuan harus
bekerja (bukan berkarir yang bagiku maknanya sudah peyoratif-stigmatif
tersebut). Bekerja adalah praksis perempuan yang perlu ditebus untuk merebus
hegemoni patriarki: homo faber (mungkin untuk mempersingkat, aku
menyarankan agar membaca Hannah Arendt, filsuf perempuan sekaligus teoritikus
politik asal Jerman).
Kedua, perempuan harus
terlibat secara masif dalam aktivitas intelektual. Marginalisasi perempuan
dalam aktivitas intelektual tidak hanya opresi dari operasionalisasi patriarki,
melainkan juga karena kepingsanan perempuan yang melenakan (selengkapnya baca
Betty Friedan).
Pelibatan perempuan dalam aktivitas intelektual,
bagiku, amat urgen, karena stereotip patriarki selalu meletakkan perempuan
dalam wilayah periferal intelektual. Oleh karenanya diperlukan gebrakan
terus-menerus melalui aktivasi kognitif untuk menggerus sentralitas matra
intelektualitas-patriarkis hingga menggesernya dalam wilayah periferal agar
kita tidak dijajah oleh nalar binal mereka (kognisi laki-laki).
Ketiga, perempuan harus
terlibat dalam transformasi sosial. Tentu ini mengandaikan beresnya kita semua
perihal landasan teoritik-kognitif kita (yakni yang di bagian dua di atas).
Jangan berharap ada transformasi sosial bila pijakan teoritikal tidak
terkukuhkan secara konkret pada diri perempuan (kita harus teringat pada Karl
Marx perihal term praxis-nya).
Formula yang ditawarkan Simone de Beauvoir merupakan
senjata paling ampuh untuk menjungkir-balikkan opresi patriarki yang bengis.
Dan, menurutku, kita, perempuan, jangan berharap yang lebih, yang utopis, bila
ternyata kita hanya terdiam-termangu, melantur, dan melamun dalam kepandiran
massal untuk menikmati penjarahan dan penindasan yang dilakukan oleh dunia
laki-laki yang patriarkis-bengis.
0 Komentar