Kala rembulan sedang purnama, penyair menggubah puisi:
“Purnama lima
belas
kini kembaraku
telah tuntas
dengan cahayamu
yang luber deras…”
Apakah itu salah,
meski secara saintifik itu jelas nonsens? Mana ada rembulan dapat bersinar?
Sebagai fenomena astronomik, cahaya rembulan hanyalah terpaan cahaya matahari—sebagaimana
kita dengar rintihan dedaunan hanyalah kabar kegundahan dari angin.
Oleh karena itu,
[konon] penyair melompat dari cinta ke ada, dari ada ke fenomena, dari fenomena
astronomis ke peristiwa aksiologis, dari metafor ke citra, dari angka ke
jumlah, dari huruf ke makna, dari fisika ke metafisika, dari raga ke jiwa, dari
rasa ke rahasia, dari rindu ke jumpa, dari jumpa ke kenyataan ada, dari ada ke
tiada, dari tiada ke cinta: muasal dan muara segala sunyata tanda.
Tapi aku tak ada
kaitannya dengan penyair, hanya penyiar nyiur nyinyir nyonyor, sungguh dobol.
*10/25/2018
0 Komentar