Ad Code

Responsive Advertisement

“Kemarin kami mabuk karena cawan,” kata Rumi

“Kemarin kami mabuk karena cawan,” kata Rûmî, “sekarang, cawan mabuk karena kami.” Begitulah penggal gazal yang kukutip dari Annemarie Schimmel Akulah Angin Engkaulah Api.

Bolehkan aku untuk merubah teks itu menuju maksud esensial gazal Rûmî. Sebenarnya Rûmî ingin menyampaikan: “Bukan kami (yang) mabuk karena cawan (berisi arak), melainkan cawan tersebut yang mabuk karena kami.”

Rûmî yang hidup 1207-1273 M telah mendahului Jacques Derrida (1930-2004) dalam membaca realitas (secara différance dan déconstruction). Oposisi biner (antara “kami” dan “cawan”) telah dijungkir oleh Rûmî. Realitas yang dianggap pakem oleh khalayak publik, digoncangkan oleh Rûmî menjadi antinomi berparadoks.

Meski Rûmî tak pernah menawarkan “sistem” dekonstruksi, tapi ia acap menggulirkan dalam butir-butir gazalnya—bukan hanya Rûmî, melainkan hampir seluruh penyair sufi. Begitulah watak sufisme (yang dipahami) sebagai korpus weltanschauung, ia selalu paradoks.

Dekonstruksi memang bukan sekadar paradoksalisasi atas realitas. Tidak! Toh, dèconstruction bukan apa-apa. Tangguhkan dengan différance. Tangguhkan! Maksudnya adalah: Lupakan! Lupakan! Buang! Karena deconstruction itu (juga) sampah Derrida.[]

 

*31/12/2018

Posting Komentar

0 Komentar