“Kenapa kamu terus menulis. Padahal tulisanmu itu tak seelok lembayung senja yang muncrat dan tak sesumirat fajar bergeliat?” cercaku.
“Tak apa. Aku ‘kan
terus menulis. Meski tulisan ini tak seasri rambutku yang acap kau sisiri dengan
belai jemarimu yang jenjang, tapi ada taburan gemintang yang selalu coba
kurajut jadi rasi gagasan. Beberapa orang dapat melihatnya, beberapa yang lain
tidak. Bukankah setiap tulisan akan berjumpa dengan mata pembacanya?” belanya.
“Apakah setiap
pencinta selalu berjumpa kekasihnya?” kejarku.
“Tidak! Karena
rindu harus ada di antaranya.” jawabnya.
“Begitu pula
dengan tulisanmu, kan?” sergahku.
“Tapi rindu tiada
bagi mereka yang tidak mencinta,” timpalnya.
*22/12/2018
0 Komentar