Ad Code

Responsive Advertisement

Menulis sebenarnya pekerjaan mudah

 Menulis sebenarnya pekerjaan mudah, dikatakan mudah karena ia tak lebih seperti ungkapan verbal yang dilontarkan, hanya saja ini dalam bentuk skriptural.

Aku rasa tidak lagi perlu ada penyuguhan tentang tips/trik menulis. Yang kusarankan, suguhkan tentang “bagaimana seseorang mendapat ide”.

*Ditulis pada 17/1/2019

Kita sering terlatih dalam menulis artikel ilmiah. Kurasa dalam konteks ini tidak ada daya kreativitas yang muncul mengitarinya, karena ia hanya berbekal tinjauan yang luas dan interdisipliner. Berbeda halnya saat kita berbicara dalam ruang sastra.

Bagaimana seorang novelis terkemuka, Agatha Christie, mampu mengemas ceritanya dengan membelotkan dari konstruk persepsi besar sang pembaca (twist ending). Hal yang berbau seperti ini dapat kita pelajari dari visualisasi sastra melalui film-film yang menyuguhkan genre demikian.

Pengilhaman sastra adalah dari rahim kehidupan. Tentu ini benar. Tetapi “penyepuhan” terhadap suatu narasi amat berbeda melalui ketajaman imajinasi sang pengkhayal.

Kita dapat menyimak suatu peneloran karya sastra Memento Mori oleh Jonathan Nolan lalu diadaptasi oleh Crihstopher Nolan berjudul Memento yang menjadi salah satu masterpiece-nya. Dari situ, kita bisa merasakan bagaimana suatu ide akbar dapat bermain-main dalam khayalan sastrawan.

Film Being John Malkovich yang dituliskan oleh Charlie Kaufman menunjukkan kecerdasan sastra fantasional dalam menarasikan suatu ide yang padat. Ide padat tersebut juga dapat ditilik dalam beberapa judul, semisal Synechdoche: New York dan Eternal Sunshine of The Spotless Mind.

Menulis adalah menggubah. Aku pribadi lebih senang menyebut seorang penulis bagi mereka yang berkecenderungan menulis karya sastra (fiksional), seperti prosa, puisi, cerpen, drama, novel, ketimbang menyebut seorang yang hanya sekadar menuliskan artikel ilmiah atau traktat akademik sebagai seorang penulis. Yang terakhir ini mungkin lebih cocok kita sebut sebagai seorang pemerhati, cerdik cendekia, akademisi.

Tentu sebagai seorang akademisi tidak lepas dari keniscayaannya yang diwajibkan untuk bisa berkontribusi menuliskan hal-ihwal kemanusiaan, tetapi perlu diingat bahwa mereka bukan penggubah, bukan penulis murni, bukan ayam yang bisa bertelur. Begitu juga bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia berita, mereka bukan penulis (dalam artian “penggubah”) melainkan “jurnalis” yang bekerja pada tataran rekoleksi fakta-fakta dengan berbagai kemungkinan manipulatifnya.

Penulis sinonim dengan pengarang, kata lain bagi pelukis yang benar-benar menggambarkan suatu rancang bangun wajah dalam sebuah kanvas. Kiranya kita bisa belajar dari berbagai perfilman, bagaimana mereka mengolah suatu kerangka plot dengan keunikannya yang berpaduan melalui rentenan metrum yang melambari gagasan ceritera kreatifnya, di samping beberapa desainografi yang menyumbangkan sisi futuristik dan artistiknya.

Aku tertarik dengan Virginia Woolf, dalam film The Hours, saat mulai menggubah karyanya, mengatakan, “Diam! Aku baru menemukan kalimat pertama untuk tulisanku.” Dari petikan ini, kita dipastikan untuk meyakini bahwa menulis itu tidak mudah, karena ada semacam prasyarat yang menjadi kunci untuk membuka pintu pertama. Memang karya sastra memerlukan suatu penyingkapan besar (big vision) untuk merenangi renungannya sendiri.

Berbicara penyingkapan, kita jadi teringat oleh Walmiki, seorang pujangga kuno asal India, yang saat ini kita kenal melalui suatu epos tak tertandingi berjudul Ramayana, yang di dalamnya ia menuturkan sebuah kesakralan pergulatan kehidupan Rama dan kisah cinta monumentalnya bersama Sinta.

Walmiki sebagai penggubah menuliskan cerita tersebut melalui penyingkapan besarnya dari tuntunan Brahma. Oleh karenanya, rima dan biramanya dalam irama epos Ramayana-nya tidak lain adalah Brahma itu sendiri.[]

Posting Komentar

0 Komentar