Ad Code

Responsive Advertisement

Seni adalah dusta yang sakral

Mohammad Iqbal, penyair cum filsuf Pakistan, pernah berkata, “Seni adalah dusta yang sakral.” Menurutku, seni bukan sekadar karya-karya estetis, kriya, atau sublimasi artefak. Seni merupakan gagasan, tuturan, sikap, atau pun tindakan—sebagaimana politik, ada putusan di dalamnya, meski terkadang putusan ditimbang lebih ringan dari kepentingan individual.

Lalu, bagaimana dengan kehadiran? Kehadiran tentu melampaui seni, melampaui politik, melampaui etika, mengejawantah di atas seluruh permukaan pemahaman dan disiplin keilmuan. Kehadiran inilah yang dapat kita sinonimkan dengan entri “sakral” (dalam definisi Iqbal tentang seni di atas) ... Sedangkan “dusta” merupakan distorsi manusia dalam menerjemahkan ilham (yang sakral).

“Dusta” itu pasti ada, sebab seni (sakral) memanifestasi sesuai dengan bentuk dan kesiapan dari wadah. Secara sederhana, kehadiran adalah aporia: labirin, licin, ambigu, luput, kontradiktif, paradoks.

Kehadiran menjadikan kita lugu dan naif, sebab kehadiran respirokal dengan (cerapan kita atas) realitas yang artistik, dan penerjemahan itulah yang dapat kita sebut penjamahan terhadap (sifat) yang sakral dengan cara “(men)dusta”. Minda, semoga kamu tetap membaca[ku (sedang ber)dusta secara sakral].

*28/9/2018

https://www.artbasel.com/


 

Posting Komentar

0 Komentar