Ad Code

Responsive Advertisement

Suatu saat, kita akan berdiri di atas lantai dansa

Suatu saat, kita akan berdiri di atas lantai dansa, sebuah permadani tegil yang menyambut injakan kaki kita.

Dan kamu mengatakan, “Aku tak pandai berdansa, kakiku bukan kaki rusa yang lincah.”

Tak apa, tukasku, kita duduk saja di atas kursi kayu di beranda rumah.

“Apakah kita harus duduk bersila laksana Buddha yang hendak bertapa?”

Tentu aku menjawab, “Tidak.”

Sandarkan saja punggungmu dan duduklah serileksmu. Aku di sini, duduk di kursi kayu di depanmu, berhadapan dengan keberadaanmu. Kau tak usah malu. Ini adalah pesta perjumpaan kita yang paling sederhana. Di tengah-tengah kita ada meja kayu kecil yang di tengahnya ada kandil mungil. Cahaya purnama lima belas ikut menyumbang nyalang di gelapnya malam.

Tak boleh ada lampu menyala selain kerlip gemintang yang menggantung di langit sana. “Apa yang akan kita lakukan,” tanyamu lembut. Kita harus saling melempar anak panah mata, lepaskanlah ia dari busur jiwa yang selama ini digenggam oleh kerinduan tak terkira. Dan kita melakukannya dengan menyebut nama Cinta....


Silang pandang di antara kita memusar di kandil mungil itu: pusat mistis dengan kutub magnetis. Kemudian, suasana mengundang angin asing dan berdesir di tubuh kita. Yah, inilah energi.

Bila seorang penyair menulis puisi, begitu pula dengan alam ini, ia menulis energi. Aku berdiam. Dan kamu juga tak perlu repot-repot menggali kuburan kata-kata. Kau menyungging senyum, dan, duh, anak panah mataku terserap ke dalam nyalang netra gravitasimu yang paling mencengkeram.

“Engkau masuk ke mana?” aku mengernyitkan pertanyaan dalam benak.

Posting Komentar

0 Komentar