Suatu saat, kita akan berdiri di atas lantai dansa, sebuah permadani tegil yang menyambut injakan kaki kita.
Dan kamu
mengatakan, “Aku tak pandai berdansa, kakiku bukan kaki rusa yang lincah.”
Tak apa, tukasku,
kita duduk saja di atas kursi kayu di beranda rumah.
“Apakah kita harus
duduk bersila laksana Buddha yang hendak bertapa?”
Tentu aku
menjawab, “Tidak.”
Sandarkan saja
punggungmu dan duduklah serileksmu. Aku di sini, duduk di kursi kayu di depanmu,
berhadapan dengan keberadaanmu. Kau tak usah malu. Ini adalah pesta perjumpaan
kita yang paling sederhana. Di tengah-tengah kita ada meja kayu kecil yang di
tengahnya ada kandil mungil. Cahaya purnama lima belas ikut menyumbang nyalang
di gelapnya malam.
Tak boleh ada
lampu menyala selain kerlip gemintang yang menggantung di langit sana. “Apa
yang akan kita lakukan,” tanyamu lembut. Kita harus saling melempar anak panah
mata, lepaskanlah ia dari busur jiwa yang selama ini digenggam oleh kerinduan
tak terkira. Dan kita melakukannya dengan menyebut nama Cinta....
Bila seorang
penyair menulis puisi, begitu pula dengan alam ini, ia menulis energi. Aku
berdiam. Dan kamu juga tak perlu repot-repot menggali kuburan kata-kata. Kau
menyungging senyum, dan, duh, anak panah mataku terserap ke dalam nyalang netra gravitasimu yang paling mencengkeram.
“Engkau masuk ke mana?” aku mengernyitkan pertanyaan dalam benak.
0 Komentar