Jika sebuah buku
terbentuk dari kertas, tinta, dan isi gagasan yang dituangkannya; apakah itu
berarti juga menunjukkan bahwa yang lebih mendasar di antaranya adalah mesin
cetaknya, ke(ber)adaan penerbit, seri ISBN, penulis, intervensi rezim (lanskap
sosio-politik), atau malah sesuatu yang lebih intim dari itu: kemampuan membahas(akan)nya.
Mungkinkah bila
salah satu elemen di antaranya raib, maka wujud dari sebuah buku bukan masih
sebagai barang gaib? Alias hanya sebuah khayalan tak berseri-rona, sebuah
imajinasi suci yang tak teresentuh oleh pembaca....
Aku menyeduh kopi,
di antaranya ada gelas sebagai wadah, air panas, gula secukupnya, sendok untuk
mengaduknya, dan keriangan rasa untuk menyeruputnya. Bila di antaranya tiada,
mungkinkah kopi tetap ada sebagai kawan merokok kita---bukan sekadar imajinasi
sublim yang terbubuh dalam seni? Apakah paduan di antaranya adalah keharusan
atau kelaziman? Sesuatu yang dibiasakan dalam kategori ekstrem “penentuan hidup”
yang begini-begitu saja?
Aku ingin mewadahi
kopi di cobek, mustahilkah untuk bisa menyeduhkan air panas dan mengaduknya?
Kopi yang ditaruh di panci tidak estetik dan etik(et)kah bila disuguhkan ke
tamu? Akankah ditertawakan bibir seseorang yang menyeruput kopi di panci, bukan
di lapik?
... Itulah suatu
protokol rumit yang membuatku untuk tidak mengamankan pengamatan pada sebuah
kelaziman, sebuah keanehan syar‘i, yang melabrak prahipotesis (gampangan
dan simplistis) untuk menggeliatkan diri agar lekas awas dan saksama terhadap
anomali, keseriusan yang ganjil, parodi ilmu, rentetan ironi, ketidakhadiran
pakem, supralegalistis, dan segala sengkarut yang membalut sang subjek yang
memikat, menggoda, dan membujuk-rayu melalui diplomasi intelektual cekakaan.
Hahaha! Ini akan menjadi sebuah riset yang tidak serius-serius amat, hanya perlu pasang rona sedikit mencureng untuk memuslihati rigiditas akademis, tetapi merangsangku untuk menumpahkan gelak-tawa dalam batin, “Xixixi”.
*19/2/2019
0 Komentar