Ad Code

Responsive Advertisement

Lagu, chipset faktisitas, dan kebelum-sudahan

Setiap lagu (lirik yang tak terpisah dari musik) menjadi semacam chipset historiografi lampau. Bagi yang jarang mendengarkan lagu, atau bahkan tidak pernah, karena menganggap musik adalah haram, mungkin di dalam dirinya tidak memiliki chipset historiografi lampau tersebut.

Apa yang diakrabi telinga lima tahun atau sepuluh tahun yang lalu, tersimpan dalam chipset tersebut. Namun, ihwal itu bukanlah data mentah yang diolah secara teknis semata dan tersimpan rapi begitu saja dalam perangkat lunak diri kita, melainkan ia adalah suatu pengalaman yang membentang dari sana ke sini dan ke sana pula.

Jika kita mendengarkan lagu-lagu yang lima hingga sepuluh tahun lampau sering kita dengar, prosesor atau chipset kita mengakseskan faktisitas kita dan menampakkan historinya dalam bentuk memori yang eksistensial. Maksudnya, pengalaman lampau yang kering jadi terguyur begitu saja di hadapan kekinian kita yang basah.

Saat aku mendengarkan Within Temptation atau Epica, yang telah lebih dari tujuh tahun tidak kudengarkan, ternyata lagu-lagu mereka dapat memunculkan panorama lampau yang semestinya—dalam ruang dan waktu absolut Newtonian—telah hanyut dalam kesudahan masa.

Linearitas waktu memang mengungkung lampau sebagai sudah dan kelak sebagai belum. Akan tetapi, musik yang memorial menunjukkan jalan tersembunyi untuk melakukan travelling time (sebagaimana kita biasa menontonnya dari film-film Hollywood). Sekarang adalah silam sekaligus yang akan datang.

Akses pada panorama kaleidoskopis tersebut adalah imajinasi aktif seseorang dengan upaya reseptif untuk mendengarkan. Berbeda dengan melihat, mendengarkan merupakan penangkapan citra sensorik yang dapat menangkap pola-pola objek secara aktif sekaligus pasif.

Dulu aku sering mondar-mandir di Stasiun Gubeng. Setelah lima tahun aku tidak pernah menginjaknya, akhirnya aku ke sana, tetapi aku tidak bisa mengalaminya sebagaimana aku mengalami musik—yang secara fisikal aku tidak perlu pergi ke mana pun.

Saat aku mendengarkan Burn in Hell karya Dimmu Borgir, setelah lebih dari lima tahun tidak pernah mendengarnya, sesuatu yang-sudah dapat menyingkapkan dirinya pada kekinian yang basah. Kekiniannya pun tidak akan patah begitu saja, melainkan tersimpan pada pola-pola keberlanjutannya dalam sesuatu yang jauh di sana. Mungkin di sorga, atau di neraka: sesuatu yang sudah dan yang belum.

Mengapa musik begitu sakti? Bagaimana horizon kerja memori pendengaran sehingga begitu ajaib? Goldem nyosop.

^Ditulis pada 15/5/2019



Posting Komentar

0 Komentar