Ad Code

Responsive Advertisement

Orca, hak hidup, dan kecemasan eksistensial

Tulisan ini diinspirasi setelah aku melihat spesies Orca yang termasuk famili lumba-lumba di laut lepas Sepanjang Taman, kediamanku. Apa yang pernah kita sebut sebagai ambang batas antara makhluk hidup dan benda mati akan kita tarik pada batas-batas fleksibel moralitas dan mentalitas kita yang antroposentris.

Eksploitasi atas yang-lain (non-human: hutan, gunung, laut beserta populasi habitualnya) merupakan contoh konkret kebebalan dari penjangkaran moralitas antroposen. “Apa sih yang menandakan sesuatu dibebankan moralitas dan hak hidupnya?”

 Jika premis-premis moral dibangun berdasarkan rasionalitas semata, maka kita sedang melakukan reduksi ontologis atas dimensi manusia. Manusia tidak sekadar makhluk rasional semata, melainkan ia juga afeksional atau emosional. Dengan kata lain, hak hidupnya tidak sekadar melulu didorong oleh rasio, tetapi juga emosi/perasaan bawaan (innate) bahwa ia sedang harus hidup, dimensi eksistensial yang dialami dan didiami.

Begini saja, aku akan bermanuver secara kontroversial (mungkin Anda yang pilsup dan bekerja dengan logika formal yang rigid akan menjustifikasi bahwa ini adalah tidaklah masuk akal).

Manusia diberi privilese moral karena ia—sekali lagi tidak sekadar rasioanal—berotoritas melaksanakan hak dan tanggung jawabnya. Dengan kata lain, manusia di ruang publik (di ruang antara aku dan yang-lain) mesti merealisasikan dan terberi privilese tersebut. Misalnya, kalau manusia punya hak untuk hidup, berarti di ruang publik, ia dibebankan tanggung jawab untuk kehidupan yang-lain (secara sederhana: menolong demi hak hidup orang lain).


Kontroversinya begini: lumba-lumba Orca [salah seorang temanku mengiranya paus, tapi tidak apa, sama benarnya] saat di laut lepas menolong sebuah kapal yang berisi satu keluarga dari serangan hiu ganas. Selain itu, Orca pernah menolong perahu seorang ilmuwan yang tersesat di tengah laut dengan cara mendorongnya ke daratan.

Betapa mereka adalah manusia yang bertanggung jawab atas hak hidup yang-lain. Semestinya mereka secara intrinsik terberi (liberately given) hak hidup di habitatnya, di mana populasi komunitas mereka menghabitualkan keberadaannya, yakni laut lepas, bukan tangki atraksi dan akuarium ekshibisi.

Justru manusialah yang tidak bermoral, tidak punya tanggung jawab atas yang-lain; mereka tidak rasional secara komunal (komunalitas mengacu pada komunitas kosmologi) sehingga secara konsekuensial mereka tidak layak terberi hak untuk hidup.

Mari kita ubah watak barbar antroposentrisme kita atas yang-lain, yang non-antropos. Tambahan: Orca pernah menyerang seorang pelatih ekshibisi dengan diagnosis Orca sedang mengalami stres berat. Eureka! Orca adalah makhluk yang eksistensial [eksistensi dalam arti Heidegger, Camus, dan Sartre], sebagaimana manusia yang mencemaskan ke(ber)adaannya. Betapa ia adalah manusia(wi)! Kini kita telah mendedah dan mengoyak ambang batas (non)-manusia(wi).

*11/4/2019

Posting Komentar

0 Komentar