Ad Code

Responsive Advertisement

Pertama-tama haruslah penyakit cinta, dan kemudian cinta adalah obatnya

Dikisahkan bahwa saat pembukaan Masjid Agung Bayezid di Istanbul, sang sultan mengundang seorang syekh sufi untuk berkhotbah Jumat pertama kalinya di sana. Sang sultan datang dengan para hulubalangnya saat itu, dan semua sudut masjid terisi sesak hingga jemaah lumer ke luar teras masjid. Saat tiba waktunya sang syekh sufi untuk menyampaikan khotbah, ia beranjak berdiri, tetapi lengan bajunya dicengkeram oleh seorang penjual air yang miskin.

“Wahai syekh, maukah kau membantuku. Aku kini kehilangan keledaiku, satu-satunya keledai yang kugunakan untuk mata pencaharianku. Aku mengangkut air dengan keledaiku itu. Tanpa keledai aku tak bisa bekerja. Aku mohon engkau bertanya di hadapan khalayak banyak ini, apakah barangkali ada salah satu dari mereka melihat keledaiku,” ujar si penjual air.

“Baiklah, anakku,” timpal syekh dengan senyum.

Sang syekh memulai khotbahnya dengan membawakan tema cinta. Ia selipkan pertanyaan ke ribuan jemaah yang hadir pada saat itu. “Apakah ada di antara kalian yang belum pernah mengalami cinta, belum pernah jatuh cinta pada seseorang?”

Tak seorang pun yang menjawab, seolah-olah semua jemaah yang hadir sudah pernah jatuh cinta. Tak puas dengan keheningan itu, sang syekh mengimbuhi, “Janganlah malu. Mengakulah. Itu tak apa. Mari kita jujur pada diri sendiri. Kita semua sedang di dalam rumah Allah. Jadi, bersikaplah jujur. Kuulangi sekali lagi: apakah ada di antara kalian yang tidak pernah mengalami jatuh cinta? Berdirilah kalian yang tidak pernah mengalaminya.”

Tak dinyana, seorang pria kemudian dengan berani berdiri dari tempatnya. Sang syekh mengonfirmasi, “Apakah benar kau tidak pernah jatuh cinta?”

Dengan sayup-sayup malu, si pria tersebut menyahut, “Iya, benar. Hatiku selalu tertutup, sehingga aku tidak pernah jatuh cinta.”

Tak dinyana lagi, dua pria yang lain juga ikut berdiri dan mengaku bahwa mereka belum pernah mengenal cinta, belum pernah merasakan jatuh cinta. Hatta, sang syekh lantas menatap ke si penjual air dan berceletuk, “Kau hanya kehilangan seekor keledai, tetapi lihat, di sini aku dapat menemukan untukmu tiga ekor keledai sekaligus.”

Apa maksud satire yang dilontarkan sang syekh sufi tersebut?

Sebenarnya manusia yang belum pernah mengalami jatuh cinta bagaikan seekor keledai, bahkan lebih rendah dari keledai, sebab keledai pun masih mencintai rumput yang segar. Dapat dipahami bahwa seseorang yang jatuh cinta benar-benar diposisikan sebagai manusia, sementara yang tidak, diposisikan lebih rendah dari keledai.

Rumi meneguhkan, “Setiap waktu yang berlalu tanpa cinta akan menjelma wajah yang memilukan di hadapan Tuhan.”

Seorang salik hendak bergabung ke dalam komunitas sufi. Namun, sang syekh bertanya, “Apakah kau pernah jatuh cinta, duhai anakku?” Menjawab belum, si salik disuruh pulang oleh sang syekh dan disuruh belajar untuk mau jatuh cinta terlebih dahulu, lantaran di jalan cinta (tasawuf), tak ada hati yang boleh hampa dari rasa cinta.

Seperti energi yang mengucur dari yang besar ke yang kecil, bahwa cinta Tuhan berlimpah pada diri kita menjadi alasan mengapa kita dapat mencintai satu sama lain, atau mencintai hal lain di bawah gradasi eksistensi kita, seperti hewan, tanaman, atau benda. Walaupun demikian, mencintai manusia adalah hal yang berbeda, dan menyimpan kehadirannya di dalam hati merupakan keunikan yang tak dialami saat mencintai barang atau hewan peliharaan.

Mencintai adalah kerja hati, yang dengannya kita juga memoles hati spiritual kita dari karat-karat narsisisme dan debu-debu egoisme. Memasukkan orang lain ke dalam diri kita merupakan upaya yang aneh sekaligus ajaib, bahwa kita mau larut sekaligus melar, untuk memiliki dua kepala, empat tangan, empat kaki. Dicintai dan mencintai adalah aktivitas batin resiprokal yang membutuhkan kerja sama, kebermitraan yang diasuh oleh energi Tuhan paling purba.

Kekasih, hanya cinta yang penuh paradoks. Hanya dengan menapaki lembah cinta penuh penderitaan dan pelayanan/penghambaan, kita baru bisa merasakan kebahagiaan dan kebebasan. Menjadi tawanan cinta adalah kebebasan. Semua aktivitas yang tanpa cinta penuh dengan keterikatan, kungkungan, dan ketidakbebasan—“aku melakukan ini karena A, karena B, karena C”. Akan tetapi, saat menjadi tawanan cinta, seseorang terbang di langit kebebasan, sebab ia melakukan segala hal bukan karena karena.

Itulah kenapa sang guru sufi pada kisah di atas mensyaratkan agar seorang penempuh jalan spiritual untuk mengalami jatuh cinta terlebih dahulu. Mana mungkin seseorang bisa membaca Al-Qur’an bila pertama-tama tak belajar mengenal huruf-huruf?

Bagi para mistikus cinta, jalan spiritual adalah jalan cinta, dan tak ada tempat bagi mereka yang hatinya belum terbakar oleh api cinta yang bergelora dan disengat rindu dendam yang berg(ej)olak.

Kebahagiaan batin betul-betul menyeruak dan manis dirasakan di dalam panasnya tungku api cinta yang penuh penderitaan, penuh perjuangan. Pencinta mereguk secawan anggur rindu yang disuling dari kebun cinta di hati, sehingga ia dapat melenyapkan segala ingatan kepada sesuatu selain kekasih; hanya kepada kekasih, sebab ingatan kepada diri sendiri pun telah lindap.

Jargon populer mengampanyekan, “Jadilah dirimu sendiri.” Ini narsisisme modern yang absurd dan egois, kekasih—(aku telah mengulasnya pada tulisan “Jadilah diri sendiri” yang tak memiliki arti di Ruang-Tilikan). Kontras dengan itu, seorang bijak bestari berkata, “Hakikat dirimu adalah keluar dari dirimu sendiri.” Tak pernah ada hal selain cinta yang bisa mengeluarkan seseorang dari dirinya sendiri, yang melemparkan seseorang untuk raib di dalam ingatan kepada dan kehadiran kekasih.

Maka, amat meyakinkan apa yang ditegaskan oleh Rumi secara paradoks, yakni, “Cinta adalah asal mula penyakit sekaligus obat dari setiap penyakit.”

Katakan, sayang, bagaimana seseorang bisa sembuh jika ia tak memiliki penyakit?

Posting Komentar

0 Komentar