Judul: Agama adalah Cinta, Cinta adalah Agama
Penulis: Edi AH Iyubenu
Penerbit: DIVA Presse
Editor: Rusdianto
Tahun: 2020
Tebal: 200 halaman
ISBN: 978-602-391-964-2
Keberagamaan
umat muslim di Indonesia akhir-akhir ini, sebagiannya, tak dapat dielak, sedang
gencar-gencarnya menyemarakkan simbol, jargon, baliho, atau pekikan-pekikan
yang bisa jadi mencolok mata dan memekakkan telinga orang yang beragama lain,
atau bahkan bisa jadi juga mengganggu sebagian umat muslim yang lain. Hal ini
ditandai dengan semangat zaman (zeitgeist)
media sosial dan masyarakat virtual yang menjadi konsumen atas informasi-informasi
yang tak jelas asal dan juntrungnya.
Dengan
menjadi masyarakat konsumeristik terhadap berjubel-jubel informasi yang
berseliweran di halaman-halaman internet dan sebaran-sebaran broadcast, kita tiba-tiba latah dan
dengan gampangnya mengoper informasi tanpa telaah dan tanpa mengetahui apakah
informasi tersebut otoritatif atau tidak.
Tepat
di sinilah “hilangnya otoritas” sedang bertumbuh subur. Pengetahuan, dan
terutama pengetahuan keagamaan, beredar dan menggelinding jauh tanpa adanya
validasi keahlian atau kepakaran di dalamnya. Dengan kata lain, kita tiba-tiba
bisa menjelma penceramah agama hanya berbekal potongan-potongan informasi.
Pada
akhirnya, munculnya fatwa-fatwa serampangan dan gampang menuding-nuding yang
lain salah bisa menjadi sebuah arogansi keberagamaan yang tidak lagi
mengindahkan aspek sosial. Tentu saja agama tidak sekadar persoalan vertikal
terhadap Tuhan semata, tetapi justru juga harus membentang ke aspek horizontal
kemanusiaan. Hal ini justru ditegaskan oleh al-Qur’an, bahwa Nabi Muhammad
diutus “untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.” (Terjemahan QS. Al-Anbiya' [21]: 107).
Dalam
buku Agama adalah Cinta, Cinta adalah
Agama ini, Edi AH Iyubenu membabarkan mengenai kegamblangan bahwa Islam itu
agama cinta. Ia pertama-tama, mengenai judul bukunya tersebut, mengakui bahwa
ia meminjamnya dari sebuah aforisme yang dituturkan oleh Imam Ja‘far al-Sha>diq,
yaitu “al-di>nu h}ubbun wa al-h}ubbun
di>nun.” Yang artinya sama persis dengan judul bukunya, “agama adalah
cinta, cinta adalah agama.”
Iyubenu,
kemudian, dengan meminjam penyigian Haidar Bagir, menuliskan, “Pengulangan dua narasi yang mengandung makna
yang sama dengan susunan dibalik begitu mencerminkan makna balaghah keduanya (agama dan cinta) sebagai: (1)
saling mengisi satu sama lain (sublimasi), (2) saling mengidentifikasi satu
sama lain, sehingga peniadaan salah satunya berarti tiadanya keduanya
sekaligus, dan (3) agama adalah pembumian dimensi langit dan cinta adalah
pelangitan dimensi bumi.” (halaman 9-10).
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa pilar dari agama adalah cinta. Jika cinta tidak
tertancap di dalamnya, itu berarti keberagamaan seseorang tidak berdiri tegak.
Seseorang yang beragama dengan cinta akan memiliki sifat hakiki dan universal
dari rah}matan lil-‘a>lami>n-nya
risalah Islam, yang menurut Iyubenu, memancar sebagai cinta keilahian dan cinta
kemanusiaan (halaman 14).
Cinta
keilahian yang dimaksud adalah aspek ritual vertikal seorang muslim kepada
Allah. Kendati demikian, belum lengkaplah kiranya kalau seorang muslim tidak
membentangkan pula cinta kemanusiaan. Cinta kemanusiaan ini bukan hanya
didasarkan pada saudara seiman semata, melainkan juga pada saudara sesama
manusia. Di sini menarik sekali untuk mengutip ucapan terkenal Sayyidina Ali>
bin Abi> Tha>lib, “Manusia ada dua
jenis: saudaramu yang sama denganmu dalam agama atau saudaramu yang sama
denganmu dalam penciptaan (kemanusiaan).”
Lalu
mengapa kini kita kerap kali bertikai dan mengafirkan yang lain? Umat muslim
mungkin mulai lupa bagaimana Nabi Muhammad dulu menyebarkan Islam sembari
menebarkan cinta. Iyubenu menuliskan bahwa Nabi Muhammad ketika memimpin
Madinah menjamin keamanaan bagi siapa pun. Semua orang dilindungi keamanannya,
hartanya, dan kehormatannya (halaman 93). Tentu hal itu amat bertentangan
dengan fenomena kita hari ini yang gencar mendengungkan takfiriyah terhadap yang lain.
Informasi-informasi
keagamaan yang didapatkan dari internet dan broadcast
yang produsennya adalah “si entah” dan dapat menyulut keberagamaan seseorang
untuk menegasikan yang lain serta mengancam kemajemukan acap kali merupakan
informasi-informasi mentah yang tidak kualifikatif. Seseorang memang harus
memiliki ilmu-ilmu prinsipiil di dalamnya, seperti tafsir al-Qur’an, hadis,
bahasa Arab, kaidah ushul fiqh, dan manthiq untuk bisa menyampaikan atau
menjelaskan perkara keagamaan secara otoritatif. Tentu saja hal ini agar tidak
terjadi penafsiran-penafsiran yang serampangan terhadap esensi suatu masalah
(halaman 141-142).
Hanya
saja tidak cukup di situ saja. Selain itu, seorang penceramah agama mestinya
juga seorang bijak-bestari yang memiliki sikap luwes terhadap yang lain (baik
yang berbeda mazhab maupun berbeda iman) dan berwawasan luas (menguasai ilmu
makruf) agar tidak gampang menunding-nuding dan menyulut perpecah-belahan
(halaman 166-167). Dengan memerhatikan aspek rah}matan lil-‘a>lami>n
dari Islam, seorang muslim mestinya selalu sadar untuk dituntun dan dituntut
dalam berbuat bajik dan bijaksana terhadap perbedaan yang ada.
Untuk
aspek yang terakhir itulah “cinta” memainkan peranannya. Dengan mata cinta,
seseorang tidak lagi melihat perbedaan ke(ber)agamaan sebagai penyulut konflik,
melainkan justru seorang muslim malah langsung mendasarkan diri pada aspek rah}matan
lil-‘a>lami>n yang memberikan penerangan-penerangan agar tidak
“nyasar” (menyimpang) pada lorong perpecah-belahan kemanusiaan. Umat muslim
harus selalu menyandarkan kembali perilaku-perilakunya kepada suri tauladannya,
yaitu Nabi Muhammad yang diutus untuk “merahmati semesta alam”.
Buku
yang ditulis Edi AH Iyubenu ini bisa menjadi penyigi bagi kita untuk menapaki
kemajemukan di tengah carut-marut dan suramnya keberagamaan tanpa cinta. Dengan
demikian, meski apa dan bagaimana pun informasi-informasi penyulut konflik itu
mendera, kita tetap berteguh diri untuk tidak terperosok ke dalamnya karena
telah menyadari bahwa agama adalah cinta, terutama kepada sesama manusia.
Karena beragama dengan cinta, kita tidak akan pernah bisa menjumpai musuh di
dalamnya.[]
Tulisan resensi ini pernah diterbitkan di Iqra.id dengan judul Agama adalah Cinta, Cinta adalah Agama pada 15 Oktober 2020. https://iqra.id/index.php/2020/10/15/agama-adalah-cinta-cinta-adalah-agama/
0 Komentar