Kita harus membedakan antara pelaku moral dan subjek moral. Semua organisme yang ada adalah subjek moral. Subjek moral adalah semua organisme yang harus dipertimbangkan keberlanjutan dirinya sebagai yang-hidup berdasarkan nilai di dalam dirinya sendiri, bukan nilai bagi yang-lain atau nilai instrumental. Sementara, pelaku moral adalah semua yang berkesadaran dan memiliki pertimbangan baik-buruk dalam bertindak.
Di sini, untuk sementara ini, kita predikasikan pelaku
moral adalah manusia, sedangkan subjek moral adalah seluruh organisme yang di
dalamnya termasuk manusia. Secara sederhana, pelaku moral harus bertindak moral
terhadap segala subjek moral (manusia, hewan, dan tumbuhan).
Lalu, jika kita punya pertanyaan alibistik, “Makhluk
hidup non-manusia (katakanlah binatang atau binatang buas: singa) yang kita
predikasikan sebagai subjek moral nyatanya berbuat tidak bermoral terhadap
makhluk lain?” [Sederhananya: kenapa sih singa dengan amat teganya mengoyak
perut zebra yang sedang melintas di depan jangkauan pandangannya?]
Nah, kita harus kembali ke formula di atas, bahwa
selain manusia bukanlah pelaku moral, melainkan subjek moral. Jadi, jika dengan
contoh singa memangsa zebra saja kita sebagai manusia (pelaku moral)
terstimulasi untuk merekayasa formula moral, yaitu dengan sangkalan, “Ah buat
apa kami menjaga keberlangsungan organisme lain, toh mereka sendiri juga saling
memangsa.” Di situlah nalar moral kita berproses untuk tumpul dan menuju majal.
Penting dicatat bahwa singa bukanlah pelaku moral
sehingga jika ia mengoyak perut zebra itu berarti bukan pada wilayah tindakan
moral, sehingga tidak bisa digolongkan sebagai kategori moral (kita harus
berpegang pada pembedaan antara pelaku moral dan subjek moral di atas).
Jadi, aktivitas memangsa yang dilakukan oleh subjek
moral yang bukan pelaku moral bukanlah kategori moral: singa tersebut tidak
akan bisa kita hukumi bahwa ia telah melakukan kejahatan moral. Dengan
alibi di atas, mengelak keberlangsungan subjek moral, itu pertanda kita sedang
menunjukkan manusia yang berprivilese sebagai pelaku moral menjadi sekadar buta
moral karena mengambil contoh yang salah (baik secara formal maupun material).
Selain itu, alibi tersebut menunjukkan disposisi kita
yang gemar menauladani tindakan saling memangsa (homo homini lupus),
betapa degradatifnya tingkah kita ini. Di dalam peristiwa perut zebra dan gigi
singa terdapat perjumpaan karena kerinduan, tetapi kalau itu gigi manusia, merupakan
kompetisi keganasan dan kebengisan!
*27/5/2019
0 Komentar