Sufism merupakan istilah Barat untuk menyebut tasawuf. Tasawuf sebagai sebuah dimensi spiritual dalam Islam terkadang dipadankan dengan istilah mistisisme. Tasawuf diketahui sebagai disiplin yang mapan semenjak abad 9 Masehi atau 3 Hijriah.
Sebelum term tasawuf mencuat, hal
itu masih dikenal dengan istilah kehidupan zuhud. Kezuhudan sudah tampak semenjak
abad pertama Islam muncul, khususnya pada diri Nabi Muhammad. Selain Nabi, para
sahabat dan tabiin pun dikenal juga sebagai seorang zahid dan warak. Dalam hal ini,
secara historis, laku tasawuf secara laten telah ada sebelum nomenklaturnya dicanangkan.
Istilah tasawuf sendiri muncul dalam
sejarah pada abad 8 Masehi pada seorang alkemi dari Kuffah, yakni Jabîr b. Hayyan
(w. 815 M). Sedangkan, secara terminologis, pengertian tasawuf tidaklah tunggal.
Pengertian tasawuf memang tidak gampang untuk didefinisikan. Bahkan bisa jadi definisinya
sebanyak penulisnya, dikarenakan sifatnya yang subjektif.
Tasawuf merupakan ilmu pribadi, ia selalu
terbuka untuk dibahas dan dibahasakan tanpa ketuntasan. Dilihat secara positif,
hal itu berdampak baik bagi tasawuf yang bisa berdinamika dengan sendirinya dan
berkontekstualisasi secara multidisipliner. Maksudnya, gagasan dan pemikiran seorang
sufi dapat dikaji dengan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu filsafat, psikologi, sains,
atau bahkan sosial dan politik.
Para sufi pada awalnya dikenal sebagai
seseorang yang menerapkan sikap zuhud. Kerapkali yang dikenal sebagai sufi pertama
adalah Hasan al-Bashri (w. 728 M) yang menyumbangkan gagasan mengenai khawf (takut kepada Allah) dan raja' (berharap kepada Allah). Ia dikenal
sebagai seorang sufi yang menentang gaya hidup glamor pada saat itu dengan cara
melakukan sikap zuhud.
Tasawuf memang pada awalnya adalah gerakan
zuhud dengan cara menghindar dari kepentingan duniawi dan hanya mementingkan
persoalan ukhrawi. Para zahid berlomba-lomba melakukan banyak ibadah dan menekan
hawa nafsunya agar tidak tergoda oleh syahwat profan yang merintanginya ketika
menempuh jalan menuju Tuhan.
Sufi yang dikenal amat asketis adalah
Ibrahim bin Adham (w. 782 M). Banyak yang menyamakan dirinya dengan tokoh Siddhartha
Gautama (w. 483/400 SM). Ibrahim bin Adham merupakan seorang raja dengan segala
kekayaan yang melimpah. Namun, saat datangnya anugerah dari-Nya, ia menjadi sadar
dan meninggalkan diri dari kegelimangan harta yang selama ini menguasainya untuk
segera bertaubat kepada Allah.
Dalam hal ini, Ibrahim b. Adham melakukan
zuhud secara totalitas, baik secara lahiriah maupun batiniah. Secara lahiriah, ia
mengganti jubah kemewahannya dengan baju gembel yang lusuh; sedangkan secara batiniah,
ia zuhud menghilangkan keinginan duniawi dengan memalingkannya kepada kepentingan
ukhrawi.
Selain sebagai sebuah protes laten terhadap
glamoritas dinasti pada saat itu, aktivitas zuhud merupakan cita ideal dalam pemenuhan
penghambaan kepada Allah. Zuhud dalam penghambaan ini adalah dengan cara menghindar
dari kecimpung duniawi.
Oleh karena itu, setidaknya pada awal
kemunculannya, dapat dikatakan bahwa kezuhudan merupakan gerakan eksklusif, trendi,
dan introvertistik, sehingga tegas dalam pendiriannya untuk menyucikan diri dari
segala hiruk-pikuk dunia dengan cara meninggalkan atau tidak memedulikan aktivitas
sosio-politik.
Konflik politik dengan dalih teologis
pada saat itu juga merupakan stimulasi sikap apatisme bagi para zahid. Apatisme
politis ini diupayakan karena demi resistansi kesalehan personal dengan cara mengasingkan
diri atau—istilah teknisnya adalah—uzlah.
Sufisme lama selalu berkonotasi bahwa
menjadi sufi maka ia harus melakukan pelbagai aktivitas yang menyibukkan dirinya
kepada Tuhan semata dan tidak mengindahkan dunia yang ada dengan cara bertapa
atau menyepi untuk bermeditasi.
Banyak sufi yang meninggalkan segala
materi dan berupaya untuk tidak memilikinya. Para sufi dikenal sebagai seorang pengembara
yang miskin, yang dengan pakaian compang-camping dan tubuh yang tidak terurus. Dengan
cara seperti itu, para sufi dapat merengkuh kesegaran air rohani tanpa terpikat
oleh tubuh jasmani.
Dalam hal ini dualisme tubuh dan jiwa
memang penting. Para sufi menganggap bahwa tubuh sebagai materi harus dilatih agar
bisa tunduk kepada jiwa atau keadaan batinnya yang sifatnya immateri. Aspek batiniah
ditekankan secara totalitas oleh para sufi sehingga mereka tidak memedulikan aspek
lahiriah atau fisiknya.
Beragam upaya zuhud seperti memperbanyak
ibadah dengan menyiksa raga, sering berpuasa,
dan mengurangi makanan (ju'), menjauhkan
diri dari keramaian, mencela dunia (dzam al-dunya)
seperti harta, takhta, dan keluarga. Para zahid dari berbagai penjuru kota melakukan
itu, di Irak, Kuffah, Basrah, maupun Syam.
Mereka benar-benar meresapkan laku agama
secara intens, bahkan eksesif, ke dalam jiwanya dengan menekan hawa nafsu dan kemalasan
jasmani. Hal-hal yang dilakukan secara eksesif juga meliputi iktikaf menjadi khalwat
berbulan-bulan, dari pakaian tenun kapas menjadi baju tenun wol domba yang kasar
dan tengik, serta zikir yang sederhana menjadi zikir yang hiperbolis.
Zikir yang hiperbolis dan hiruk-pikuk
biasanya terjadi dalam sebuah praktik zikir kolektif. Zikir kolektif merupakan suatu
aktivitas yang ada dalam sebuah tarekat. Mulai abad 12 M, tarekat atau ordo-sufi
mulai semarak dan menjadi tren baru dalam menjalankan laku spiritual.
Terdapat banyak tarekat di dunia Islam
seperti Tarekat Qadiriyah, Tarekat Rifaiyah, Tarekat Suhawardiyah, Tarekat Syadziliyah,
Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Syaththariyah, Tarekat Tijaniyah, Tarekat Mawlawiyah, dan masih banyak yang lainnya.
Sebuah tarekat dicirikan dengan adanya strukturalitas, kontinuitas, hierarki antara
guru-murid, dan keterikatan yang solid dalam ordo tersebut.
Pada masa ini, tasawuf yang sebelumnya
hanyalah aktivitas individual, kini menjadi aktivitas komunal. Asal mulanya adalah
pertemuan-pertemuan informal yang menyangkut latihan spiritual dan diskusi keagamaan
sehingga terbentuklah halaqah-halaqah (komunitas
sarasehan) di mana-mana.
Secara mendasar, menurut H.A.R Gibb, embrio tarekat bermula dari munculnya statement bahwa belajar tasawuf harus melalui guru, yakni “barang siapa yang mempelajari tasawuf tanpa
guru, maka gurunya setan.”
Akibatnya, muncul opini yang sangat mengkristal di tengah sebagian umat Islam bahwa
siapa yang ingin mendekatkan diri kepada Allâh, ia harus berguru kepada seorang sufi yang telah sempurna kesufiannya (mursyid),
karena dari guru
demikianlah ia akan diantarkan ke pintu gerbang makrifat kepada Allah secara benar.
Mulai dari situ, tarekat-tarekat menjadi
terlembagakan dan terformalisasikan. Seperti yang dikatakan Fazlur Rahman, praktik
sufi yang sederhana semacam itu berkembang menjadi konsep-konsep spiritual yang
matang dan sempurna (Fazlur Rahman, Islam), dengan pelbagai ritual di dalamnya,
seperti menari dan mendengarkan musik, dan menjadikan masjid sebagai sebuah pusat
peradaban spirtualitas.
—Pernah diterbitkan pada 19-10-2020 di Iqra.id dengan
judul Sejarah Sufisme di Dunia Islam: Kemunculan Tarekat Sufi (1) https://iqra.id/index.php/2020/10/19/sejarah-sufisme-di-dunia-islam-kemunculan-tarekat-sufi-1/
0 Komentar