Akhir tahun 2017, film Blade Runner rilis di bioskop Indonesia. Film yang berdurasi 164 menit itu, setahuku, menyisakan seperempat penonton yang sanggup bertahan hingga kredit akhir (tentunya penonton yang bertahan ini bukan penonton bayaran, melainkan penonton yang menagih bayaran atau penukaran ongkos tiketnya melalui mutu film).
Di awal menit 60an, penonton menipis sedikit demi
sedikit, merambat ke pintu keluar. Aku tidak tahu, mengapa film seperti Aquaman,
Infinity War, hingga Avengers: Endgame (berdurasi lebih dari 160
menit juga) bisa membetahkan dan membius penonton untuk menjadi “sekrup
kapitalis” produksi film.
Beberapa hari yang lalu, aku menyetel film Aquaman.
Keseluruhan film tersebut merangsangku untuk bergumam penuh penyesalan, “Bagiku
ini boros. Buang-buang waktu saja.” Untungnya dulu aku tidak buang-buang uang
untuk membeli tiket dan berduyun-duyun menjadi sekrup kapitalis.
Kenapa aku menyebutnya “sekrup kapitalis” atau, dengan
kata lain, “darah-nadi kapitalis”? karena ia dapat menopang keberlanjutan
kapitalisme tersebut bersamaan berlakunya falsafah kapitalisme, yaitu menggerogoti
keuntungan orang lain demi keuntungannya sendiri; memberdayakan buruh dalam
mencapai akumulasi modal; tidak adanya nilai tukar yang setara di dalam
transaksi yang dilakukan. Lebih sederhananya (dalam konteks film pasar[an]):
penonton adalah buruh yang diberdayakan.
Saat aku menonton film Aquaman, aku adalah
buruh yang menyumbangkan keberadaan dan waktuku dengan tanpa digaji: aku sedang
dieksploitasi (apakah kalian [tidak] dapat merasa seperti itu?). Tetapi tidak
untuk kemarin siang, saat aku menonton film Mirage (2018) dan film Replicas
(2018). Saat itu aku bukan lagi buruh yang sedang dieksploitasi, melainkan
mitra kerja yang sehat dan setara. Aku memberikan luang waktu dan keberadaanku
padanya untuk mendapat apa yang sesuai dengan nilainya: penukaran yang
manusiawi, tidak ada eksploitasi.
Tentunya para fans film Endgame bertanya, “Apa sih
tolok ukur penukaran yang setara itu?” Jawabanku sederhana: dikarenakan Anda telah
membeli tiket, maka selayaknya Anda mesti membawa pulang tiket tersebut, karena
itu hak milik Anda—bukan sekadar dipotret lalu diedarkan di status WhatsApp dan
instastory.
Dengan bahasa sederhana: ketika Anda berdiri dari
kursi, Anda mesti membawa ide film tersebut pulang, menjadikan ide itu sahabat
Anda, dan membiarkannya mengusik serta mencemaskan pandangan dunia Anda.
Itulah yang dapat aku alami saat berdiri dari kursi di
depan kredit film Blade Runner (2017) dengan seperempat sisa penonton. Telah
lebih dari setahun, ide itu mencemaskanku, mengusik pandangan duniaku tentang “apakah
robot adalah subjek dan pelaku moral dan apa tolok ukurnya.”
Kalimat bernada tanya itu menubuh dalam pandangan duniaku
dan menabuh sunyi wawasanku: tiket itu tidak lenyap, tidak sekadar sebagai instastory,
tidak sekadar ajang pamer style atau tren mutakhir dalam bentuk pesona
lahiriah semata.
Pada umumnya, film-film yang laku keras di pasaran dan
memikat penonton pergi untuk berbondong-bondong ke gedung eksploitasi adalah
film-film yang memuaskan selera penonton arus utama. Apa itu selera? Psikologi
menjawab bahwa selera adalah insting rendah(an). Artinya pasti Anda tahu. Lalu
apa itu penonton arus utama? (Meminjam frasa Emha Ainun Nadjib) Yaitu, sampah
dan ikan mati. “Hidup itu lawan arus,” celetuk Emha, “hanya sampah dan ikan
mati yang hanyut arus.”
*30/4/2019
0 Komentar