Eksistensi harus selalu diterjemahkan sebagai “ke(ber)adaan”, dengan imbuhan “ber-” yang ditandakurungkan, supaya kita dapat membacanya dengan dua modus, yaitu keberadaan dan keadaan, secara simultan.
Eksistensi bukan sekadar keberadaan semata, melainkan
juga keadaan. Sebab, kalau hanya “keberadaan”, itu mengacu pada “esensi”, yang
membekuk modus ada sebagai yang-permanen, tergeletak diam tanpa
pergolakan dan gejolak kehidupan.
Bukan pula “keadaan” semata, karena itu menunjukkan
modus atribusi atau ekspresi dari ada yang-entah, tak beridentitas.
Sedangkan, “ke(ber)adaan”, menunjukkan pe(r)mukiman bahasa yang solid untuk
menyingkapkan arti eksistensi(al) secara ontologis.
*22/7/2019
0 Komentar