Kepada
Nona Teh
Di panci sukmaku
Wa’alaikum salam.
Akhir-akhir ini, hari-hari
kujalani dengan galaba, dengan gelimangan kekalapan dan buncah gelisah, Nona.
Jika air mataku jatuh mewujud batu rubi, tentu aku niscaya menjadi orang
terkaya di segala penjuru dunia. Air mata ini hanyalah air mata yang mengandung
elektrolit, yang asin dan tampak tak berharga di kerjapan dunia luar sana.
Sehingga, air mata menjadi pertanda kekalahan, kegagalan, kemalangan, dan duka
yang amat dalam.
Pahit yang
kurasakan acap kali menyaingi pahit kopi yang kubuat, Nona. Namun, aku juga
sering berupaya menyeduh kopi lebih pahit dari hidup ini agar lidahku selalu
mendeteksi bahwa hidup ini tak sepahit kopi yang dikecapnya. Tak ada yang lebih
pahit dan pilu dari dijauhi olehmu, dan tak ada yang lebih getir dan rengsa
dari mengetahui kegagalan menghitung hari lebih cepat untuk menjemputmu di sana,
Nona.
Aku harus
terang-terangan bahwa aku tidak baik-baik saja, dan masih belum baik-baik saja
merasakan ini semua. Gemuruh pikiranku yang berkeliaran tak tentu arahnya selalu
membuatku merasakan nanar, patah, dan linglung. Kendati demikian, aku mesti tetap
memegang bara harapan—yang berbahaya.
Di satu sisi harapanlah
yang dapat menguatkan serta menuntunku untuk terus menapaki kepingan-kepingan
dari serpihan tajam kaca yang kupijak ini, tetapi di lain sisi harapan tersebut
juga dapat berupa fatamorgana yang membawaku tersesat dalam ngeri kegelapan tak
berkesudahan. Doakanlah, Nona, agar bara harapan yang kugenggam bisa membawaku
tiba pada ujung terowongan gelap yang tengah kulewati dengan terhuyung-huyung
dan bahkan menggelesot ini.
Aku tak memiliki
metode yang sama denganmu, Nona, yakni gerakan yoga. Untuk melarikan pikiranku
dari remuk rengsaku itu, aku terlempar kembali menggeluti hobiku, bermain
catur. Aku menuangkan pikiranku di atas papan catur, agar aku tak semakin
merasa celaka dan sengsara, duka yang selalu membuat dunia ini tampak gelap dan
tak bermakna.
Aku tak bisa
berkata apa-apa lagi mengenai hal itu. Aku hanya memasrahkan diri agar suatu
hari, suatu hari nanti, aku betul-betul bisa tenggelam habis di dalam lautan
keberhasilan, bukan melulu terjerat jatuh di dalam kolam kegagalan.
Semoga hidupku menemui
kurva naiknya di kemudian hari, karena itulah momen-momen ketika aku bisa
melihat diriku berada di sisimu lebih jelas dari terang-benderang di siang hari.
Kita harus terus berdoa untuk sebuah revolusi, untuk sebuah revolusi, sebuah revolusi…
Hormat pedih,
Tuan
Kopi
0 Komentar