Kupantik korek api, api tersulut, lalu kulepaskan lentik pantikan, api jadi padam. Ke manakah api pergi di kala padam? Menuju penjuru? Terkunyah udara? Melesap hingga lindang? Atau memental ke muasal?
Adalah muspra kita
dapat mengetahui semuanya. Feria kita dibekap oleh hijab, dipenjara dalam
lembap, terbias(a) ‘tuk terbias, dihalang ulang oleh pagar-pagar, belum lagi
tempiarnya harubiru khalayak yang memberhalakan; tak ada kognisi dan visi yang
nirmala, bahkan di tatanan khazanah mistikus, asketikus, bijak-bestari, resi,
sufi, yogi, mahatma, bodhisatwa, dukun beranak, dukun tiban, pesugihan, jampi,
santet, tenung, sihir, mantra, klenik, mesiu, molotov, rudal, hingga dukun
cabul.
Bestari yang
menjulang pun akan terbentur pada julangan itu sendiri [Kiswah tetaplah kiswah;
tak ada kiswah yang bisa disebut nonkiswah]. Begitu pula cakrawala yang kita
nyana nun sana, bisa terlipat oleh nyana kita sendiri perihal “sana”.
Kapan kita tahu
tentang rentang yang nirhingga? [Nirhingga juga pewatasan (ke)senewen(an)
pengetahuan]. Dari deria, halusinasi intelegensi, pantulan khayalan, akal
buatan, IQ sintetis, IQ jongkok, berbaring, nyungsep, IQ ngakak menganga,
hingga mukasyafah, tak bisa mengurai seluruh rinai dan derai misteri, apalagi
ketika misteri membadai.
Terhadap hakikinya
mahligai misteri, belum satu pun yang memerawani. Karena, semua penghampiran
masih dipotret dari satu sisi, dirajut bingkai teori, terjejal dan tersumpal
bangkai ideologi, digurat-lukiskan pada kanvas yang membatasi, diseka oleh
gairah keinginan, dilambari asumsi kebebalan.
“Tahu bisa juga
lipu, tentu mudah menipu.”
Kita kalap.
Oleh karenanya,
sadar bahwa si pandega bestari kala terkapar di dampar ketidaktahuan [juga]
adalah tempat dan titimangsa nirwana yang memesona, bukan malah meronta-ronta
hingga meretas tapal-batas kuriositas—merampas hal yang tiada bisa
dirampas(?!!).
Seperti dalam
sebuah hikayat bertamsilkan tentang seseorang yang terkena panah beracun:
sebelum ia mendapat pengobatan, malah tetap memaksa ingin tahu siapa yang
memanahnya, kenapa ia dipanah, dari jarak berapa meter ia dipanah, oleh jenis
apa panah tersebut dibuat ... Dia mungkin akan tewas terlebih dahulu sebelum
mendapatkan jawaban-jawaban; yang seharusnya cepat-cepat menggegaskan diri bersedia
mendapatkan pengobatan.
Beberapa hal
memang terkadang tak perlu merengkuh jawaban, patut terbungkamkan, tiada tutur
yang pantas untuknya, malahan tiada yang tahu jawaban itu. “Senoktah tanda”
yang terang—untuk mengakses ke sana—bisa menjadi taksa tak jelas opsinya,
bahkan ia bisa lindap, bisa tiba-tiba lindang ditelan entah. [O senoktah!]-
Misteri tak selalu
dapat didedah-telanjangkan, ditengkurap-telentangkan, dioceh-lantangkan, karena
misteri juga mampu berbisu-bisu, bercuek-ria, mem-PHP serta PHK, berkamuflase,
polesan bedak, gincu, pensil, dan lipstik, operasi plastik, kamera kecantikan up-to-date
yang terlaris, pegangi tongsis sembari meringis; Misteri menirai diri, lalu
beringsut-ingsut ke limunan, tak terjamah, tak pantas dirampas.-
“Kita tak tahu,
dan kita harus puas (dengan ketidaktahuan ini).”
*17/7/2017
0 Komentar