Orang-orang menyangka bahwa tak ada cinta dalam imajinasi, padahal momen paling sublim adalah di kala kita menyusupi imajinasi.
Secara epistemologis, kita menciptakan kesenian dari
sana: daya dan upaya yang disuntikkan begitu saja pada “imajinasi pasif” kita
untuk menggerakkan kreasi, gerak penciptaan dan sulapan-sulapan yang
menakjubkan. Kita dapat menyulap atau menyulam realitas.
Secara aksiologis, kesubliman estetika dilahap dari
sana, mantra penyihir yang memaku renungan-renungan kita; nalar hukum dan
logika dogmatis berada jauh untuk menjangkaunya.
Secara ontologis, alam imajinal adalah barzakh antara
aku dan kamu: kita tekuk ruang dan waktu absolut Newtonian. Kita dapat merombak
pakem-pakem nalar adat atau kebiasaan. Misal, ketika kuucapkan: “Barzakh adalah
kupu-kupu” [dalam ucapan ini, kita tak akan bisa mengacukannya pada pengetahuan
yang lazim kita terima]. Itulah alam imajinal, merubah sesuatu yang takmungkin
menjadi mungkin, karena alam imajinal adalah dunia fleksibel.
Kita dapat menggeser A ke B atau ke C, X, Y, Z dengan
seketika. Begitu pula kita bisa tambahkan abjad-abjad baru sesuka dan seleluasa
imajinasi kita.
Alam imajinal bukanlah imajiner atau angan-angan. Alam
imajinal merupakan ranting bertenggernya dan goa bertapanya para penyair dan
seniman dengan pasif agar mereka siap menerima cucuran ilham yang dilumerkan.
Ada dua gerak: gerak naik dan gerak turun. Ilham
bergerak turun saat seorang penyair bergerak naik. Mereka berdua berjumpa di
alam imajinal. Oleh karenanya, Shaikh al-Akbar Muhy al-Dîn Ibn 'Arabî
menamakannya barzakh (perantara) antara alam murni dan alam materi.
Simbol bermain-main di sana, semacam citra-suci yang meletakkan acuan pada
dunia di seberangnya.
Orang-orang masih menyangka tak ada cinta dalam
imajinasi? Padahal, cinta adalah citra, yang dapat memalingkan kita dari simbol
ke Realitas Sesungguhnya.
*24/4/2018
0 Komentar