Walau kugadai mata purnama yang dari purbakala dan pelangi-pelangi mimpi sedari kecil, secuil pun tak mungkin aku mahir menafsiri diksi yang sudah ditakdiri.
Darimu, dari pena seorang perempuan pujangga, yang
telah mengajariku bagaimana mengarnavalkan ketukan dan memengaruhiku bagaimana
mengalunkan tulisan, masihkah diksi dan dirimu itu berkelindan, berkelokan, dan
berkelitan?
Duh, jangan terus-terusan kau sajikan irama rengsa dan
aroma renjana, sebab aku tak setahu dulu, tak seawas lalu. Kini hanya dapat
kupandang dan kuterka ke mana tubuh paragrafmu berpalung pulang. Tapi,
janganlah tergesa, biar relakan ombak di dadamu menghajar dinding-dinding
karang. Relakan saja satu putaran badai mengendap di kelopak yang amat isak,
rapi kau simpan, pestapora sedan yang kau diamkan.
Bah! Sesamodra apa pun linangan itu, yang kutahu, aku
akan menggenggam sebumi cinta. Yah. Pun bila ranum di bibirmu tak lagi memerah
oleh sebab kaupelihara lara, ‘kan kupastikan segenap burung kolibri akan segera
punah bila tak isap madu senyummu.
Sampai entah, sampai waktu menuntut wujudku ‘tuk turut
menyampul dan menyimpul ikat bunga di gerai rambutmu, memasangkan birik-birik
cantik di gaunmu, dan melingkarkan rembulan di jari manismu
yang senggang: ‘Tuk
melintangkan kekekalan ..., barangkali diksi menakdiri demikian.
*1/9/2016
0 Komentar