Ad Code

Responsive Advertisement

Walau kugadai mata purnama

 Walau kugadai mata purnama yang dari purbakala dan pelangi-pelangi mimpi sedari kecil, secuil pun tak mungkin aku mahir menafsiri diksi yang sudah ditakdiri.

Darimu, dari pena seorang perempuan pujangga, yang telah mengajariku bagaimana mengarnavalkan ketukan dan memengaruhiku bagaimana mengalunkan tulisan, masihkah diksi dan dirimu itu berkelindan, berkelokan, dan berkelitan?

Duh, jangan terus-terusan kau sajikan irama rengsa dan aroma renjana, sebab aku tak setahu dulu, tak seawas lalu. Kini hanya dapat kupandang dan kuterka ke mana tubuh paragrafmu berpalung pulang. Tapi, janganlah tergesa, biar relakan ombak di dadamu menghajar dinding-dinding karang. Relakan saja satu putaran badai mengendap di kelopak yang amat isak, rapi kau simpan, pestapora sedan yang kau diamkan.

Bah! Sesamodra apa pun linangan itu, yang kutahu, aku akan menggenggam sebumi cinta. Yah. Pun bila ranum di bibirmu tak lagi memerah oleh sebab kaupelihara lara, ‘kan kupastikan segenap burung kolibri akan segera punah bila tak isap madu senyummu.

Sampai entah, sampai waktu menuntut wujudku ‘tuk turut menyampul dan menyimpul ikat bunga di gerai rambutmu, memasangkan birik-birik cantik di gaunmu, dan melingkarkan rembulan di jari manismu
yang senggang: ‘Tuk melintangkan kekekalan ..., barangkali diksi menakdiri demikian.


*1/9/2016


Posting Komentar

0 Komentar