Apa sih kritik itu? Akhir-akhir ini kita rasanya seperti tercegat dan tercegah untuk mengucapkan kritik. Pembungkaman-diri terhadap upaya mengkritik selalu bertolak dari kegamangan lantaran kebingungan memahami apa itu kritik. Adagium yang berserakan bahwa “kritik itu harus konstruktif” atau “kritik itu harus solutif” menjadi bahan baku dalam mencegat “kekuasaan-diri”.
Kata “analisis”
sendiri secara bahasa adalah analuein yang memiliki arti “mengendorkan”
atau bahkan “membedah satu per satu” dan “membongkar”. Jadi, tampak teramat
sangat rancu ketika kita mengalami kiamat linguistik yang absurd bahwa kritik
itu harus membangun. Tidak! Itu bukan lagi kritik. Kritik adalah upaya
membongkar dan menghancurkan, bukan membangun atau apalagi memuji-muji.
Munculnya
pergeseran pemaknaan kata kritik menurut saya berasal dari invasi dan infiltrasi
para pemegang kekuasaan—dalam bentuk apa pun itu, semisal dalam bentuknya yang
sederhana: “kepala keluarga” atau “ketua kelas”. Setiap pemegang kekuasaan atau
otoritas sering khawatir untuk dibongkar karena pembongkaran itu dapat berdampak
menggoyang kekuasaannya dan menggoyahkan apa yang dikuasainya.
Oleh sebab itu,
mereka mencegat dan mencegah setiap upaya kritik (dalam makna asalinya) dengan
cara pemelintiran dan pemanipulasian lebenswelt kita atas pemaknaan
bahasa dengan adagium-adagium absurd bahwa kritik itu harus konstruktif. Saya tandaskan sekali lagi bahwa itu
kesalahan etimologis serta terminologis yang tak dapat diragukan, dan sungguh,
kritik itu bermakna sebaliknya: bersifat merobohkan atau “destruktif” (de-struere),
dan akan selalu bersifat seperti itu.
12/10/2023
0 Komentar