Kepada yang lebih diam dari lengang, kutuliskan gerutu prosa dari bibirku yang membusa dan seketika bisu di hadapan selaput telinga yang nganga. Sebab di dadaku telah menjadi tempat bagi pengap ‘tuk bertapa, semilir napas lembap bermegap-megap, mengejarmu, duhai Damai, yang tiada henti berlarian.
Padahal telah kuhapalkan belokan-belokan,
lekukan-lekukan, tapi tetaplah kamu secergas cahaya. Merambah, menembus,
melipat, dan merobek ruang-ruang lebih cepat dari kerdipan mata. Dan hanya
dengan takdir yang lebih mustajab dari minta: aku dapat membelaimu, duhai
Damai...ku!
*30/7/2018
0 Komentar