Begini, kita harus menyelidiki akar kata “intelektual”. Intelektualitas pada arti orisinal/tradisionalnya adalah mata hati (‘ayn al-qalb) yang disebut Ibn Sina sebagai akal aktif (al-aql al-fa'āl), komponen penting dalam diri manusia untuk dapat berhubungan dengan wilayah inteligensi transendental (langit kesepuluh).
Sedangkan dalam arti modernnya kini telah digeser
hanya sebagai suatu kecakapan kognitif dan akademis semata. Makanya, seorang
bijak bestari Yunani Kuno, Sokrates, menekankan bahwa “mengetahui berarti
berbuat baik”. Dengan kata lain, bila seseorang berbuat buruk berarti ia tidak
tahu.
Dalam arti inilah intelektualitas dan moralitas
merupakan tindakan yang paralel, resiprokal secara simultan. Andai kita kembali
pada makna “intelektual” yang klasik tersebut, kita tak perlu mencemaskan
keterpisahan antara kerja intelektual dengan tindakan moral.
*17/4/2019
0 Komentar