Ad Code

Responsive Advertisement

Bagaimana bisa kita dapat membatalkan acara kehidupan ini?

Bagaimana bisa kita dapat membatalkan acara kehidupan ini?

Jagat raya adalah gedung tanpa pintu. Aku menengok celingukan, mencari jalan keluar, sebelum pembawa acara sempat memulainya. Namun, napas ialah pangkal kehidupan yang telah sedari awal ditiupkan; acara telah dimulai sebegitu saja, tanpa pernah aba-aba.

Siapa dapat menyangkal? Pintu dan jendela berterali baja sebagai muara penghabisan nyawa, siapa yang berani melewatinya?

Orang-orang di dalam gedung menyesal dengan gagah mendatangi acaranya, tapi sempit nyali kala dihadapkan pada batas kehidupan, sebuah maut yang siap merenggut.

Apa itu hidup? Apa ia seirama dengan letih, gelisah, dan derita?

Para penyair kulihat di ujung tembok sedang bersenda-gurau, cekikik dan cekakakan, seperti tak pernah merasakan bahwa kehidupan siap mencekik tenggorokan.

“Kehidupan itu asri,” kata para penyair. Aku tahu bahwa itu hanyalah permainan diksi yang sebenarnya amat getir. Tapi, siapa berani mencela hidup? Mencerca anugerah yang mengantarkan pada maut? Mau kita maknai apa maut itu? Sebagai puncak dari keberadaan? Atau ketiadaan? Sebagai kait-kelindan yang menunjukkan kita pada ruang keabadian?

Kita pasti naif. Dan mungkin itu yang menjadi hulu-hilir atas napas pemaknaan yang natural, pada kehidupan yang sebegini liar.

*20/2/2018




Posting Komentar

0 Komentar