Sebagai pemukim bahasa Indonesia, aku terkadang tercenung-cenung, bahwa kadang kala terdapat “kontradiksi berbahasa” yang sering kita praktikkan. Salah satu contohnya adalah ini:
Dulu, di waktu saya sekolah dasar hingga menengah
atas, aku sangat familiar dengan kata “absen” yang digunakan secara arbitrer (yah,
memang bahasa itu arbitrer, tetapi ini secara kasuistik “arbitrer atas
kearbitreran”).
“Ngga, kamu sudah absen?”; “Siapa yang memegang buku
absensi?”; “Anak-anak yang belum absen siapa?”; “Ibu absen dulu yah yang masuk
saat ini.”; “Eh besok aku bolos sekolah, tolong absenkan dong!”
Bagaimana bisa kita secara praktis mengonstruksi kata “absen”
yang dalam lema KBBI berarti tidak hadir; tidak masuk menjadi
antonimnya, yakni hadir, masuk, atau ada? Dan pula dapat dideteksi bahwa
kata “absen” tersebut dipaksa untuk bersinonim dengan kata “panggil/memanggil”,
yang entah bagaimana galur etimologinya. Dan itu pun digunakan oleh siapa saja,
entah itu kita sebagai murid, guru, dan bahkan guru Bahasa Indonesia serta guru
Bahasa Inggris (absent: not present in a place, alias bolos). HmmZzz.
Tapi ketika dulu, aku, dan mungkin kita semua, belum
benar-benar “bisa” tahu dan menyadari kalau kata “absen” itu artinya “tidak
hadir”, sebab praktik kebahasaan kita tidak memungkinkan untuk mendiami “absen”
yang berarti hadir, “absensi” yang berarti kehadiran.
Mengapa jadinya bahasa, pengertiannya bergulir, malah
pengartiannya bergilir? Walakin, untungnya ketika di bangku kuliah, kita sudah
merombak “kearbitreran atas kearbitreran” tersebut.
Kita sudah mulai mendengar frasa “buku presensi”, “daftar
kehadiran”, dan kalimat tanya “sudah mengisi presensi belum?” Dan kalau saja ada
yang masih (ingin) menggunakan kata “absen(si)” dalam konteks yang sedemikian,
mungkin ia sedang absen dari kesadaran atas apa itu absen. Mungkin.[]
*29/9/2020
0 Komentar