Kekasih, sudah kuceritakan banyak tentang kegundahanku, tentang perenungan mendalam serulingku, pedih lagunya di riuh rindu.
Jadikan aku kekasihmu, seruling yang berkawin dengan
tangga nada, sebegai gemericik semesta; walau susah penat menggeliat, aku ingin
itu. Bukan nafsuku! Bila itu, kan kucumbui kau semauku! Tak! Biar kau tahu
sendiri, bahwa terkadang memang aku ini sorgamu dan aku juga nerakamu; aku
songai mengalirmu dan aku api nyala bakarmu. Pada apa itu?
Yang langkah kakiku sana-sini-situ. Uhhh, aku tak
pedulikan itu!
Kekasih… Puisi dan nyanyi yang kutumpuk di jeluk
sunyi, yang kurahsiakan di ramainya nisbi. Sudah kau bacakah? Itu semua
mengumpet, sekali-kali ingin ‘tuk kuumpat! Diam! O.
Geletar lupa dan gelepar ingat jadi satu kelindan, di
ikat mawar, merah semerbak! Enyahkanlah
marahmu, gulana dan gulita sedu-sedan, pada ratapan ini yang kulanglangkan,
membentur dan melebur di debur-debur telanan ombak nan rancak. Ah!
Yang telah kusendirikan munajat ini dari huru-hara
pasar, agar tidak menuju gelegak yang menggertakku untuk tak menujumu. Bila
selain kau, kekasih, mending aku mengejang dan merinding di dunia nirbatas
kepandiranku. Iya! Dalam kemahapandiranku, aku hanya pena dan sajak yang kaupuisikan
di jagat pengetahuanmu.
Tamatkanlah segalaku di taman kemesraanmu… yang kau
semogakan sendiri dalam kepastian-kepastian diksimu.
18/12/2017
0 Komentar