“Tak ada yang di luar teks” begitulah ingatan kita terhadap gaung Derrida. Penampakan apa pun itu, entah tubuh sejarah, tubuh politik, tubuh kebudayaan, atau pekak poraknya peradaban, berada dalam genggaman erat teks.
Dengan
bermata-baca Derrida, teks niscaya dibaca tanpa pernah tuntas. Teks bak labirin
[tanpa pintu keluar] yang merangsang pembaca berpetualang dalam kesesatan [di
jalan yang benar]. Lorong kecilnya adalah undangan pada mata kita untuk
menggumulinya dalam penangguhan untuk menghabiskannya; menghindari arogansi
finalitas interpretasi yang kulminatif.
Tak ada penilaian:
tak ada penilaian bahwa nanti malam adalah tahun baru—begitu juga sebaliknya,
serta sebaliknya, dan terus menerus kita bolak-balik. Tak ada perayaan atasnya,
merayakannya dengan tidak merayakan atau tidak merayakan dengan merayakannya.
Kita berdiri di
poros kutub yang berputar: bukan bimbang, melainkan menyeimbangkan, memoderasi
antara kiri dan kanan, serta memecah polarisasi dengan senapas konvergensi
hirupan ke dalam hidung. Urghh! Kita asyik-masyuk melumatnya ke lumbung
jantung: kutub-polarnya laksana udara!
Selamat ber-différr[a]nce
ria. Kita merayakan penundaan. Selalu baru dan baru tanpa perlu adanya tahun
untuk berkabung. Selalu tahun-tahun [yang] itu-itu, telah kita tahu bahwa ia
baru karena diburu waktu.
Baru bukan tahun;
Tahun tak baru …,
*31/12/2018
0 Komentar