Aku berdiri di hadapan rak perpustakaan yang lebih tinggi sehasta di atas kepala. “Apakah mataku laksana mata elang yang siaga mencari mangsa?” Tidak, malah sebaliknya. Aku merasa hendak dimangsa oleh deret ratusan judul buku yang sedang lapar ingin melahap mata pembacanya.
Aku tertegun. Seolah-olah aku adalah [bagian] buku-buku
tersebut. “Cari buku apa, Mas? Segera ambil! Kalau belum tahu nomor raknya,
cari di katalog, di sana!” segumpal kalimat perintah tak bernyawa. Petugas
(pustakawan) dengan halus mengusirku, menyuruhku untuk memasak mi instan di
dapur ...
... Sialnya, perpustakaan diperlakukan sebagai objek bendawi;
buku hanya diposisikan sebagai alat masturbasi pengetahuan, entah sex toys
kronik sejarah atau khazanah data syahwatiah—demi memuncratkan libido
intelektual, kita dituntut menjalani ejakulasi dini: ketahui judul buku yang
dicari, telusuri katalog serta catat nomor raknya, lekas ambil, pergi, pulang,
dan klimakslah.
Aku terusir dari bagian diri sendiri yang tergurat
berjejeran di sana. Padahal aku ingin di sana, tertegun dengan tekun, menyadari
dan mengalami sendiri bahwa diriku adalah [bagian] buku-buku tersebut. Selain
itu, pustakawan itu musti tahu, bahwa bukan aku yang mencari buku, melainkan
sebaliknya, bukulah yang mencariku, mencari siapa mata pembacanya.
Bukan aku yang membaca buku, melainkan bukulah yang
membacaku.
*11/3/2019
0 Komentar