Begadang sering kali diasosiasikan dengan hal-hal buruk, seperti orang-orang pengangguran, membuang-buang waktu, atau orang-orang yang sering mengantuk di siang hari. Asosiasi ini tidak sepenuhnya bisa dibenarkan karena kita tahu pasti bahwa hal itu benar-benar bergantung pada tiap-tiap tekad dan iktikad yang dimiliki seseorang.
Kita tidak bisa sekadar melihat realitas yang karut-marut
dan remuk ini lalu dengan pongah menegaskan bullshi" bagi orang
yang begadang dan tidak merasa mengantuk di pagi hari. Proposisi itu bisa
digoyang dengan oposisinya, “Apa bisa diketahui secara serempak bahwa orang
yang tidur tepat waktu dapat dipastikan bahwa mereka tidak mengantuk di pagi
dan siangnya?”
Mengafirmasi dan memastikan pertanyaan itu sama dengan
menyodorkan ke-bullshit-an raksasa. Begitu pula sebaliknya,
menggeneralisasi bahwa orang yang begadang dapat dipastikan akan mengantuk di
pagi dan siang harinya: ini adalah bullshit atas ke-bullshit-an.
Dua kali lipat.
Penilaian yang gegabah memang gampang mengantarkan
kita pada kesimpulan yang amat mentah. Tentu saja kita harus menghindari untuk
menyajikan pernyataan semacam itu, sebab hal-hal yang mentah sungguh sangat tak
layak dikonsumsi. Itu membuat kita sakit perut, minimal, atau membuat kita tak
bernafsu, bahkan untuk sekadar menyentuhnya.
“Lho, tapi kenyataannya, realitanya, banyak orang yang
begadang dan mengantuk di pagi hari kok!” Sialnya kita hanya masih bertemu
orang-orang yang seperti dan masih memiliki teman yang masih pada level
sedemikian. Artinya, banyak orang yang belum kita tahu, yang juga bertepatan
bahwa mereka adalah bukan seperti dugaan kita, bukan orang-orang lemah yang
gampang mengantuk meski, bahkan, tidak tidur seharian, bahkan berhari-hari,
bahkan berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.
Kita masih berteman dan hanya mengenal orang-orang
yang levelnya amat sangat standar, dan anehnya tiba-tiba dengan pongah dan pede-nya
mengklaim bahwa “realita bicara demikian”. Jeez, apa maksudmu?
Kita ini banyak nggak tahunya, banyak nggak kenalnya
terhadap orang lain, tapi kita tiba-tiba melompat kasar dan memukul rata
berdasarkan kesempitan dan kedangkalan prasangka. “Kita harus kembali ke
realita.” Apa?
Kau saja yang kembali dan mengikuti realita yang
carut-marut dan remuk ini. Jangan ajak kami, jangan gunakan kata ganti “kita”. Realitas—karut-marut
dan remuk ini—harusnya diubah, bukan malah diikuti. “Hidup itu lawan arus,”
kata Emha, “hanya sampah dan ikan mati yang hanyut arus.”
Kau yang mana? Sampah atau ikan yang sudah mati?
*19/11/2020
0 Komentar