Pikiran-pikiran yang terumuskan akan dapat melantangkan suara bila kita melakukan “perjuangan ideologis”. Pikiran-pikiran yang mencakrawala sekalipun, akan tetap terbungkam bila kita tidak melalukan tindak kontras-pikiran. Tindak kontras-pikiran terjadi bila ada dua kutub berhadapan yang berkonfrontasi. Dua kutub tersebut terjembatani oleh relasi dialogis yang dilakukan melalui perjuangan ideologis sebagai dialektika gerak sejarah.
Apa yang kita sebut pikiran yang terumuskan adalah paradigma.
Kontras-pikiran ialah konfrontasi paradigma. Tetapi bagaimana bila paradigma
berkonfrontasi dengan dogma? Bukankah itu hal yang bertolak belakang? Namun,
kita dapat memahami bahwa dogma senyampang dalam konteks sosial, ia
terprofankan, dan menjadi suatu tekstualitas (normative canon) pikiran.
Tak peduli itu dogma, asalkan ia punya premis argumentasi rasional (bahkan
dengan nalar tang paling konservatif sekalipun), bukan sentimental yang binal,
itu dapat kita anggap telah tercakup sebagai paradigma.
Karena pertarungan pikiran adalah jauh lebih mulia
ketimbang sekadar pertarungan dampratan dan makian. Dan itu semua
terejawantahkan pada “perjuangan ideologis”, bukan pada sikap ceriwis dan
sinis.
*17/2/2018
0 Komentar