Malam tadi hingga pagi ini, aku menangis kencang tapi tidak berupa linang air yang menggenang. Tidak membasahi pipiku yang ranum, melainkan sebagian telah mengembun ke daun. Menadah sinar yang dikawal awan bergelepar.
Sedang sebagian lainnya, semenjak tadi malam yang
basah, telah pergi jauh di sana, mangkat mengembara ke utara. Betapa hebatnya
duka citaku, air mataku membeku, tumpah ke ujung Alaska yang bisu.
Aku adalah dingin yang mengirim puisi parau pada
kemarau. Jangan kaukoyak bekuku: air mataku. Biarkan aku tetap berduka cita.
Perkenankan aku memanggilmu melalui gigil tubuhmu.
Akulah pembaca cuaca, pembaca mantra tanpa suara.
Untuk memanggilmu O Jarak, kubacakan sajak-sajak di setap telingamu menyimak. Pagi
ini, tidakkah kaudengar aku memanggilmu melalui gigil? Maka dari itu,
kembalikan pendengaranmu sebagaimana dahulu, agar air mataku selalu menjadi
gigil di tubuhmu.
*10/5/2019
0 Komentar