Kami masih yakin bahwa di rahimmu adalah tempat kami bersemadi berbulan-bulan. Di perutmu yang merupakan goa pertapaan paling mengasyikkan. Entah Ibu, apa yang terjadi kala purba di rahimmu, sebab kami hanya yakin dan tak ingat semua.
Lalu,
sekian bulan bertapa, kami
menjadi terbit fajar
yang muncul di
ufuk rahimmu. Aaaahhh.
Menangislah kami, sebab merasa-pandang dunia
tak semegah kantong
perutmu. Hilir-mudiknya hari,
membawa kami menjadi bayi
yang selalu kau
tumpahi dengan air
susumu nan lancar.
Di
selendangmu, Ibu, gesitlincah
tangis kami yang
entah sebab apa,
namun kau terus
menggerus dengan menyikapi
kami oleh santun-kasihmu. Detik
terus merintik, kau
menyapih kami agar
jadilah kami bocahmu
yang cerdik.
Kala
bocah, kami bandel
ke sana-sini, merengek
ini-itu, namun kau
terus menuruti kami, ohh
Ibu. Entah mungkin
lantaran cinta-kasihmu yang terlalu menyemesta. Selang bergulirnya
waktu, entah kenapa,
seakan-akan kami tidak
pernah ingat atas rindang
selendang dan dekap
sumringahmu, Ibu.
Kami
menjadi remaja yang
sebegitu ugal, berlarian ke
sana-sini, menapaki lembah-lembah
gelap. Tak jarang
kami menghujan-deraskan umpatan, tak
mau menurutimu, membentakmu
dengan dengung kemarahan.
Semua itu pasti
bak sembilu yang menyayat
ulu hatimu, Ibu.
Namun,
engkau Ibu, terus-menerus
berpayung sabar, bertameng keikhlasan
atas segala umpatan,
dan engkau selalu
saja masih sanggup
untuk menyembulkan senyum teduhmu,
Ibu. Aaaahhhh. Kami
selalu saja hancur
tergerus berkepingkeping dengan santun-kasihmu yang
amat lembut, Ibu.
Runcing
jarum jam terus
berputar ke kanan,
kami menjadi sedikit
cukup dewasa, dengan segala
gagah dan anggun
wibawa. Segala aktivitas
dan peristiwa memalingkan
kami untuk ingat padamu; tentang
perjuanganmu, kesusahanmu, kegelisahanmu, kegundahanmu,
dan bahkan sembilu yang
dulu masih menancap
di ulu hatimu.
Namun,
dirimu, ohh Ibu;
selalu dekat pada kami
melalui munajatmu yang
melulu untuk kami—andai
munajatmu pada-Nya kutulis
di lembaran-lembaran, maka jadilah
rampai puisi yang
paling sejuk-salju untuk
kami baca—.
Uuuhhh,
untuk kali ini
kami harus mencaci-maki
diri kami sendiri,
menyesali tingkah sentakgelegar
yang pernah kami sabetkan
padamu, yang dulu
menyembilu tertancap di ulu hatimu. Ibu, kami
pulang. Kami pulang
padamu, Bu.
Kami ingin pulang
di goa pertapaan
kami nan sunyi, bersemayam
di dalam kantong
perutmu yang sepi,
kami ingin selalu
dalam rindang gendongan selandangmu,
kami ingin didekap-rekat
oleh pangkuanmu yang
adalah bianglala.
Maafkan
kami, Ibu, kami
tak pernah minta
maaf padamu. Kini,
kami meminta maaf
padamu Ibu, meski kami
tahu bahwa pintu
maafmu tidak pernah
kau bongkar untuk
kami. Ibu, kami
ini tak akan pernah
mampu membiarkan rinai-derai
air matamu yang
terus gerimis mengguyur membasahi pipi
keriputmu hanya disebabkan
segala ugal tingkah
laku kami.
Hurrmmm, kami
akan mengubah sedu-sedan
air matamu menjadi
mata air yang
menyungai jernih; mengubah sedan-isakmu yang
pilu menjadi lengking
seruling bermelodi indah;
mengubah lembap-lebam
netramu menjadi rancak
purnama paling nyala.
Mengubah itu semua
dengan mengakrabimu beserta
segala tindak kebajikan
untukmu, padamu, Ibu.
Kami ingin selalu
memesrai dirimu, Ibu. Lantaran
engkau, Ibu, adalah
yang paling semerbak
wangi, sungguh dalam
dirimu segala makna beraroma sorgawi.
Selamat atas setiap hari Ibu
selalu bertajali!
*22/12/2016
0 Komentar