Mengapa p(em)ikiran-p(em)ikiran alternatif selalu dicurigai dan diwaspadai, bahkan hingga ditakuti dan dicegah? Ada kejanggalan bagi kemenduniaan (in-der-welt-Sein) kita yang senatiasa didesak agar terpola oleh sistem yang status quo.
Aneh memang.
Dengan kata lain, kita dicegat untuk melampaui kelampauan kita. Mana mungkin? “Melampaui”
adalah keniscayaan yang absolut tanpa bisa reduksi secuil pun di hadapan
kekinian kita yang amat riil. Sebab, “lampau” selalu sudah dan kita menjadi
mutlak untuk beranjak ke yang-belum. Sehingga, “kelampauan” adalah ihwal usang
yang teranulir secara automatis. Di situlah autentisitas manusia mengada. Oleh
karenanya, secara prinsipiil, “waktu” hanya dapat dipahami, secara eksistensial
sebagai “yang-selalu-baru” dalam kilasan kemutlakan dari “pelampauan”.
Makanya, dalam
konteks p(em)ikiran alternatif, fisikawan kuantum, David Bohm, melansirkan
bahwa kemampuan untuk berpikir secara berbeda adalah lebih penting ketimbang
sekadar pengetahuan yang diperoleh. Pada momen tersebutlah kita dapat “mengalami”
bahwa p(em)ikiran memang bukan sekadar “re(pro)duksi” atas mainstreamografi.
Jadi, malah sungguh ganjil kalau telinga kita hanya ingin mendengar bunyi-bunyi
yang sama yang pernah/sudah kita dengar sebelumnya.
Bukankah telinga
kita bukan seonggok batu yang tergeletak abadi di pojok tembok?
*22/10/2019
0 Komentar