Pernahkah kau merindu sepucuk daun, yang membelalak begitu anggun? Cukup sepucuk, melempar kantuk pada hati yang hampir lapuk.
Aku ingin tetap terjaga, terus menjaga bola mata untuk
menyaksikan wajah, menjaga kedua telinga untuk mendengarkan nada, menjaga lidah
untuk tidak berucap selain doa. Mana mungkin?
Angin senantiasa berkesiur tanpa uzur. Bunyibunyi
bising merobek khusyuk. Awas dan wawasku tak piawai menerjemahkan ayat, tak
cergas menangkap isyarat. Luput. Akalku kini keriput. Aku menyukun tanya yang
bertalun-talun, “Pernakah aku merindu sepucuk daun?”
Bahasaku tanggal, logikaku terpenggal, suaraku
tersumpal. “Aku perempuan yang istikamah menimang daundaun patah di sepanjang
umurku sebagai tanah.”
*29/4/2019
0 Komentar